A.
Biografi
Syeikh Muhammad Baharuddin an-nasaqbandi
Syeikh
Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi adalah seorang wali qutub yang masyhur hidup
pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Tariqah
Naqsyabandiyah sebuah tariqah yang sangat terkenal dengan pengikut sampai
jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.
Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin
Muhammad bin Muhammad binMuhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al
Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan,
Bukhara, Uzbekistan tanggal15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M.
Syekh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan
kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh
sebelum tiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh yaitu bau harum
semerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syekh
Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorang wali besar dari Sammas
(sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As Samasi berkata, “Bauharum yang kita cium sekarang ini datang
dari seorang laki- laki yang akan lahir di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir,wali
besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
B.
Sejarah tasawuf syeikh Muhammad baharuddin
an-nasaqbandi
Syekh
Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad
Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang
yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt.
maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah
Syekh Bahauddin.
Di dalam
asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad
Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.
sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan”
yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin
meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra.
melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau
bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan
Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk
menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah
subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf
(mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin,
“Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang
Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau
memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap
hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Untuk
lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin
seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia.
Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan
yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah
secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah
waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar
suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya,
tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana
kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin
menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam
sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau
berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.
Saat Syekh Bahauddin mengalami
jadzab yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan
thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad
Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus
dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan
semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan.
Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ?
Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa
menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.
Hingga
pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat
lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih
panjang. Tak
lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar
Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak
oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti
tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”
Kemudian
Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar
beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat
sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat
berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya
terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad
Baba.
Salah
satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq
al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini
Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini
Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh
Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang
dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi
merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk
menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah
kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus
betul-betul menjalankan 3 perkara :
1.
Istiqomah mengukuhkan syariat.
2.
Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3.
Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa
memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku
Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.
Kemudian untuk membuktikan
kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke
Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian
pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal
di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan
beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.
Syekh Bahauddin setelah bertemu
dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian
dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal
mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah
diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan
mendidiknya.
Syekh
Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama
sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua
dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh
memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu
syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah
semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan
dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata
dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jadi
toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al
Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub
masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini
kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya
langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi
naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari
Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh
Sodruddin. Pada
saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan
menyamarkan diri”...
Lalu
beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya
itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari
dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.
Pada
suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib
yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul.
Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu
berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah
“Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai
derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”.
Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid,
“matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh
Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang
telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad,
berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata
ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak
sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman
pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau
adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.
Syekh
Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku
disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu
pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di
udara. Suatu
ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku
bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh
Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai
saat ini”.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada
suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang
menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap
Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih
Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga
datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat,
kemudian sembuh dengan seketika. Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad
Bahauddin Ra.Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa
anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
C. Thariqot Nasabandiyah
Syeikh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Beliau adalah pendiri Tariqah
Naqsyabandiyah sebuah tariqah yang sangat terkenal dengan pengikut sampai
jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas
penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di
antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga
Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar
ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut
nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w.
1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut
di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara
ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan
tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya
semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
1. Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat
yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara
peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga
dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual,
sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau “marga”. Hanya
saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang
mengamalkan “jalan” tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam
rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi
tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara
Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya.
Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda
telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta
para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan
memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai
pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam
pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
2.
Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:
- Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
- Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
- Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
- Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
- Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
- Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
- Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
- Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
- Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
- Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
- Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
3. Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun
sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir
secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh
cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan
dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali
seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan
tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar
Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah
dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat
keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati,
ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan
semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri
atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa
llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la
permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi
Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata
berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung,
dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan
segala kotoran.
Variasi lain yang
diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama
Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus
pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati),
terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua
jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas
putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu
kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah
(akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya
tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang
telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh
tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha’if — dibedakan dari teknik
dzikir yang didasarkan padanya — bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi
terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan nama-namanya
bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan
kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang,
titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan
teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga
macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai
dengan asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik
sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir
latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad
Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya;
jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah
mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan
aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad
merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau
memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam
yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak
secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan
wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara
rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau
seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah
tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat
kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain
dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut
Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah,
dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama
sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
1 komentar:
kritik ya,,, yang di atas,, penulisan tokoh salah namanya... bukan baharuddin nasaqbandy tapi baha'uddin an naqsyabandy
Posting Komentar