Bab I
Pendahuluan
1.1
latar belakang masalah
Perkawinan siri dalam sepekan ini seringkali diperbincangkan. Hal
ini karena mencuatnya kasus perkawinan Bupati Garut Aceng HM Fikri dengan
seorang gadis belia berumur 18 tahun, Fany Octora. Yang mana, setelah 4 hari
diceraikannya. Fakta di lapangan, tidak sedikit orang yang melakukan perkawinan
siri dengan alasan ingin poligami, beristri lebih dari satu. Bahkan, istri
pertama pun kerap kali tidak mengetahui.
Faktor sosial dan budaya di suatu daerah juga menjadi faktor terjadinya perkawinan siri. Pengurusan perkawinan terkesan ribet dan sulit di lingkungan birokrasi. Bukan tanpa alasan pernikahan siri banyak ditempuh pasangan wanita dan pria yang ingin menyatukan cinta dalam mahligai pernikahan. Selain karena simpel pengurusannya dimana tidak direpotkan faktor birokrasi yang berbelit, keabsahan hubungan secara agama pun dalam genggaman. Tak salah jika pernikahan ini pun akhirnya digemari banyak orang, bukan hanya kalangan biasa, tapi juga jajaran pejabat atau PNS menempuh jalan ini.
Berbeda dengan perkawinan kontrak. Perkawinan kontrak pada umumnya memiliki batas waktu tertentu, misalnya 3 bulan atau 6 bulan atau 1 tahun. Sedangkan kawin siri tidak demikian halnya. Selanjutnya, orang yang melakukan perkawinan kontrak biasanya dilakukan oleh seseorang yang berkantong tebal. Karena perkawinan kontrak lebih menitikberatkan pada batas waktu tertentu dan jumlah besaran nominal uang. Ketika batas waktu itu sudah selesai dengan sendirinya mereka berpisah tanpa harus menggunakan kata talak (perceraian), dan tentu juga tidak akan ada pembagian harta warisan.
Faktor sosial dan budaya di suatu daerah juga menjadi faktor terjadinya perkawinan siri. Pengurusan perkawinan terkesan ribet dan sulit di lingkungan birokrasi. Bukan tanpa alasan pernikahan siri banyak ditempuh pasangan wanita dan pria yang ingin menyatukan cinta dalam mahligai pernikahan. Selain karena simpel pengurusannya dimana tidak direpotkan faktor birokrasi yang berbelit, keabsahan hubungan secara agama pun dalam genggaman. Tak salah jika pernikahan ini pun akhirnya digemari banyak orang, bukan hanya kalangan biasa, tapi juga jajaran pejabat atau PNS menempuh jalan ini.
Berbeda dengan perkawinan kontrak. Perkawinan kontrak pada umumnya memiliki batas waktu tertentu, misalnya 3 bulan atau 6 bulan atau 1 tahun. Sedangkan kawin siri tidak demikian halnya. Selanjutnya, orang yang melakukan perkawinan kontrak biasanya dilakukan oleh seseorang yang berkantong tebal. Karena perkawinan kontrak lebih menitikberatkan pada batas waktu tertentu dan jumlah besaran nominal uang. Ketika batas waktu itu sudah selesai dengan sendirinya mereka berpisah tanpa harus menggunakan kata talak (perceraian), dan tentu juga tidak akan ada pembagian harta warisan.
2.1. rumusan masalah
1. Apakah nikah siri itu?
2. Apa yang menyebabkan
orang ingin nikah siri?
3. dan apa kata islam
tentang nikah siri?
3.1. tujuan penulisan
1. memberikan pengetahuan
kepada pembaca tentang nikah siri dan syarat-syarat nikah yang sah?
2. Dan untuk meluruskah
permasalahan yang berkembang di masyarakat tentang nikah siri?
Bab II
Pembahasan
A.
Pengertian
nikah menurut bahasa artinya “wati atau jimak” dan akad atau
juga bisa di sebut berkumpul menjadi satu.dan menurut syara’ adalah
suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat. Kata nikah itu sendiri
secara hakiki berma’na akad, dan secara majazy berma’na persetubuhan.
Nikah itu sendiri hukumnya sunah bagi orang yang sudah hajat
(butuh) akan nikah sebab keinginan nafsunya yang kuat untuk melakukan jima’ dan
sudah mempunyai biaya yang cukup, seperti untuk membayar mahar (mas kawin) dan
memberi nafakah untuk anak istrinya.
Perkawinan asal hukumnya sunah tetapi bisa berubah dengan adanya
illah yang berbeda, yaitu:
1.
Wajib : bagi orang yang
sudah mampu, ada biaya, keinginan, syawat yang sangat besar yang kalau tidak
segerah menikah akan menimbulkan fitnah dan perzinaan.
2.
Haram : bagi orang
yang tidak mampu, tidak ada biaya dan tidak adanya syahwat , Dan apabila
menikah juga bukan karna kewajiban sebagai suami istri.
3.
Makruh : bagi orang
yang sahwatnya kuat , ada biaya tapi tidak mampu memberi Nafakah.
Sedangkan Nikah siri atau juga di sebut zawaj ‘urfi adalah nikah
yang sembunyi – sembunyi, zawaj ‘urfi
atau nikah siri bisa juga di katakan suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat
secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan.
Kawin siri merupakan pernikahan yang hanya memenuhi prosedur
keagamaan, tanpa melaporkannya ke KUA atau ke Kantor Catatan Sipil.
Biasanya nikah siri dilaksanakan karena kedua belah pihak belum
siap meresmikannya atau meramaikannya, namun di pihak lain untuk manjaga agar
tidak tidak terjadi kecelakaan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang
agama.
Pada dasarnya, perkawinan siri jika sudah memenuhi unsur syarat dan
rukun nikah, maka hukumnya sah dalam Islam. Syarat-syarat pernikahan dalam
Islam itu adalah meliputi calon pengantin, wali dari wanita yang akan
dinikahkan, mas kawin dan dua orang saksi. Tetapi yang menjadi soal adalah,
perkawinan di Indonesia tidak berdasarkan hukum Islam. Melainkan hukum positif,
yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Peraturan
Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1/ 1974. Bagi pegawai negeri sipil, aturannya dipisahkan melalui Peraturan
Pemerintah (PP) No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil,dan surat Edaran kepala BAKN nomor 08/SE/1983 jo Surat Edaran
kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.
Namun, dalam pandangan Syariat , semua ketentuan hukum di Indonesia ini tidak
mengikat seorang Muslim sama sekali.
Adapun Nikah
Siri atau zawaj ‘urfi, maka pernikahan
ini juga sah secara Syar’i asalkan memenuhi Syarat dan Rukun Nikah. Hal itu
dikarenakan pengertian Nikah Siri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan
ke KUA (kantor urusan agama) saja. Jadi, Nikah Siri adalah pernikahan
yang sah secara agama, tetapi tidak tercatat oleh negara. Kelemahan Nikah Siri
dari segi tata hukum di Indonesia hanya terletak pada tidak diperolehnya
hak-hak hukum seperti pewarisan, nafkah, pengasuhan anak, dll jika persoalan
rumah tangga diajukan ke pengadilan di Indonesia.
B. Rukun dan Syarat
Pernikahan
Rukun dan syarat adalah
sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Di
dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai
berikut:
menurut Abdullah
Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib Al-’arba’ah menyebutkan yang
termasuk rukun adalah Al-ijab dan Al-qabul dimana
tidak ada nikah tanpa keduanya. Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’,
rukun nikah terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain
termasuk ke dalam syarat.
Menurut Hanafiyah,
rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat,
berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. Menurut Syafiiyyah
meliht syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali,
calon suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah, rukun nikah
ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para ulama
tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga
berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun,
sedangkn syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.
Menurut jumhur ulama
rukun perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu.
Syarat dan rukun adalah :
1.
shighat (ijab-kabul)
2.
kedua calon mempelai
3.
wali
4.
saksi
Di dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
(1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab dan
Qobul.
Adapun pengertian dari
syarat dan rukun nikah itu sendiri seperti berikut:
1. Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah:
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai
pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
Di dalam fiqh ‘ala
mazahibul ‘arba’ah syarat Ijab-Qabul adalah:
- Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
- Jika pengucapan Ijab-Qabul pada satu majlis
- Jika tidak bertentangan antara ijab dan Qobul. Contohnya ketika seorang wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.
- Tidak boleh lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah.
5. . Boleh dengan maknanya
bagi orang selain Arab/‘ajam.
6.
Boleh menggunakan selain bahasa Arab asal bisa dipahami oleh kedua
belah pihak.
Syarat bentuk kalimat ijab dan Qabul: para fuqaha’ telah
mensyaratkan harus dalam bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak.
Atau salah satunya dengan bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal
(yang datang). Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan,
Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku), sebagai bentuk madhi.
Lalu si mempelai laki-laki menjawab, Qabiltu (aku terima), sebagi bentuk
madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali
mengatakan: Uzawwijuka ibnatii (aku akan menikahkanmu dengan putriku),
sebagai bentuk mustakbal. Lalu si mempeli laki-laki menjawab: Qabiltu
(aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.
Mereka mensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dari kedua belah
pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan Ijab dan Qabul
hanya merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua
belah pihak harus memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan
kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat
yang dipakai menurut syari’at bagi sebuah akad nikah adalah bentuk madhi.
Yang demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang
bersifat pasti dan tidak mengandung persetujuan lain
Di lain pihak, bentuk mustaqbal
tidak menunjukkan secara pasti persetujuan antara kedua belah pihak tersebut
pada saat percakapan berlangsung. Sehinggaa, jika salah seorang di antaranya
mengatakan : Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku).
Lalu pihak yang lain menjawab : Aqbalu nikahaha (aku akan menerima
nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena,
kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan
perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada saat itu.
Seandainya mempelai
laki-laki mengatakan zawwijnii ibnataka (nikahkan aku dengan putrimu),
lalu si wali mengatakan : Zawwajtuha laka (aku telah m
menikahkannya untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada saat itu telah
terlaksana. Karena, kata Zawwijnii (nikahkan aku) menunjukkan arti perwakilan
dan akad nikah itu dibenarkan jika diwakili oleh salah satu dari kedua belah
pihak.
Menurut Kompilasi Hukum
Islam :
pasal 27 :
1.
Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan
tidak berselang waktu.
pasal 28 :
1)
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain.
Pasal 29 :
(1) Yang
berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal
tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan
calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
2. Sifat-sifat/ syarat
calon kedua mempelai yang baik
Sifat-sifat calon
mempelai yang baik seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad ialah
تنكح المراءة لاربع
لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها
“Nikahilah seorang
wanita yang mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya, dari keturunannya , dari
dari kecantikannya, dari agamanya. Diriwayatkan oleh
Bukhari
Untuk syarat seorang
laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal
kebalikanya.
Syarat-syarat calon
suami lainnya adalah:
- Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
- Kehendak sendiri
- Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
- Jelas laki-laki
Syarat-syarat calon
istri:
- Tidak dalam keadaan ihrom
- Tidak bersuami
- Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
- Wanita.
Dalam undang-undang RI
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal enam:
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
- Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.
Dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemasahatan keluarga dan rumah
tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974 yakni calon suami
berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya berumur 16 tahun.
Dalam pasal 16 ayat 1:
perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
3. Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah
nikah tanpa wali laki-laki.
Dalam KHI pasal 19
menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Dalam hadis nabi :
لا نكاح الا بولي وشاهدي
عدل وما كان من نكاح غير ذالك فهو باطل
Yang artinya: Tidak
ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Jika ada pernikahan
tanpa itu maka pernikahan itu dianggap batal. (HR. Ibnu Hiban)
Syarat-syarat wali :
1.
Islam
2.
Sudah baligh
3.
Berakal sehat
4.
Merdeka
5.
Laki-laki
6.
Adil
7.
Sedang tidak melakukan ihram
yang diprioritaskan
menjadi wali:
1.
Bapak.
2.
Kakek dari jalur Bapak
3.
Saudara laki-laki kandung
4.
Saudara laki-laki tunggal bapak
5.
Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
6.
Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7.
Paman dari jalur bapak
8.
Sepupu laki-laki anak paman
9.
Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.
Bila sudah benar-benar tidak ditemui
seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif
berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam masyarakat kita
adalah naib.
وعن سليمان ابن موسى عن
الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : ايما
امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فاءن دخل بها فلها المهر
بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له.
Wanita manapun yang
kawin tanpa seizing walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal.
Bila (telah kawin dengan syah dan) telah disetubuhi, maka ia berhak menerima
maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun bila
terjadi pertengkaran diantara para wali, maka pemerintah yang menjadi wali yang
tidak mempunyai wali.
Wali dapat di pindah
oleh hakim bila:
- Jika terjadi pertentangan antar wali.
- Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.
Berdasarkan hadis nabi:
ثلاث لا يؤخرن. وهن:
الصلاة اذا اتت, والجنازة اذا حضرت, والايم اذا وجدت كفؤا (رواه البيهقي و غيره عن
علي)
Pasal 20 ayat 1
menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh.
Wali nikah terdiri
dari: wali nasab dan wali hakim.
Pada pasal 21 dibahas
empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok
kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki
mereka.
Ketiga, kelompok kerbat paman,
yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Menyangkut dengan wali
hakim dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
- Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya atau ‘adhalnya atau enggan.
- Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.
4. Saksi
Imam Abu Hanifah, Imam
Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa
syarat syahnya nikah. Dan ulama’ jumhur berpendapat bahwa pernikahan
tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak
boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan
agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.
KHI menyatakan Dalam
pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
Dalam KHI pasal 26
saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dari nabi SAW bersabda:
لا نكاح الا بشاهدي عدل
وولي مرشد
Dan sahabat tidak
berselisih faham tentang hal itu.
Syarat-syarat saksi :
Islam, Baligh, Berakal, mendengarkan langsung perkataan Ijab-Qabul, dua orang
laki-laki dan yang terpenting adil.
Abu Hanifah berpendapat
bahwa jika pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena
maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Untuk Imam Syafii mempunyi
pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan jadi
disyaratkan saksi yang adil.
Dalam KHI pasal 24 ayat
2: setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.
Dalam hal kesaksian
seorang wanita, Syafiiyyah dan Hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian adalah
seorang laki-laki. Jika pernikahan saksinya adalah seorang laki-laki dan dua
orang wanita maka tidak syah pernikahan itu berdasarkan hadis Nabi SAW:
ان لا يجوز شهادة النساء
في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق.
Yang artinya tidak
diperbolehkan kesaksian seorang wanita dalam hukuman, pernikahan dan dalam
percerian.
Tetapi Hanafiyah tidak
mensyaratkan hal itu, dan berpendapat bahwa saksi adalah dua orang laki-laki
atau dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Berdasarkan surat al
Baqarah ayat 282:
وشتشهدوا شهيدين من رجالكم
فاءن لم يكونا رجلين فرجل وامراتان ممن ترضون من الشهداء.
Artinya :
Persaksian dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai.
KHI menyatakan Dalam
pasal 24 ayat 1: saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
C. Wanita yang haram di
nikah
Ada tiga hal yang dapat menyebabkan wanita haram dinikahi untuk selamanya.
Pertama, karena hubungan kekerabatan (qarabah) atau keturunan (nasab). Yang
diharamkan karena sebab ini terdiri dari empat golongan yaitu:
- Orang tua, yakni ibu, nenek, dan seterusnya hingga ke atas.
- Keturunannya, yaitu anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya sampai ke bawah
- Keturunan kedua orang tua atau salah satunya, yaitu saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu beserta anak perempuan mereka, cucu perempuan mereka, dan seterusnya sampai ke bawah.
- Keturunan langsung dari kakek atau nekek, yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.
Sedangkan keturunan
tidak langsung dari kakek atau nenek tidak tergolong mahram. Misalnya, anak
perempuan paman atau bibi.
Kedua, karena hubungan perkawinan (musaharah). Wanita-wanita yang termasuk mahram
karena sebab ini juga terdiri atas empat golongan, yaitu
- Istri orang tua, yakni istri ayah, istri kakek, dan seterusnya hingga ke atas, baik sudah disetubuhi maupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun sudah dicerai atau ditinggal wafat. Dengan kata lain, yang termasuk mahram adalah ibu tiri, nenek tiri, dan seterusnya sampai ke atas.
- Istri keturunan, yaitu istri anak, istri cucu, dan seterusnya sampai ke bawah, baik yang sudah disetubuhi ataupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun yang sudah dicerai atau ditinggal meninggal.
- Orang tua istri, yaitu ibunya, neneknya dan seterusnya sampai ke atas, baik orang itu sudah berhubungan badan dengan istrinya maupun belum, baik istrinya tersebut masih dalam ikatan perkawinan dengannya maupun yang sudah dicerai atau sudah meninggal.
- Keturunan istri, yaitu anak perempuannya, cucu perempuannya dan seterusnya sampai ke bawah, jika orang tersebut sudah berhubungan badan dengan istrinya itu,
baik istrinya itu masih dalam ikatan perkawinan dengannya maupun sudah
sudah diceraikan atau sudah meninggal . Namun apabila ia belum berhubungan
badan dengan sang istri, kemudian menceritakannya, maka ia boleh menikahi
keturunan mantan istrinya itu.
Selain perkawinan yang sah
seperti dijelaskan di atas, Mahzab Hanafi menambahkan tiga sebab lagi
yaitu
- Hubungan badan dalam akad nikah yang fasid, seperti nikah tanpa adanya saksi
- Hubungan badan yang terjadi karene kekeliruan, seperti seorang berhubungan badan dengan seorang perempuan yang disangka istrinya
- Hubungan badan karena zina. Penyebab terakhir ini juga ditambahkan oleh Mahzab Hanbali. Dalam tiga hal ini, keharaman yang ditimbulkannya sama seperti nikah yang sah. Misalnya, seseorang haram menikahi anak perempuannya dari hasil zina.
Ketiga, karena hubungan persusuan (rada’ah). Yang diharamkan karena sebab ini
seperti yang diharamkan karena sebab nasab dan perkawinan. Dengan demikian,
delapan golongan yang sudah dijelaskan di atas juga menjadi haram dinikahi
karena sebab hubungan persusuan. Hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW,
“Perempuan-perempuan yang haram karena susuan sama dengan yang diharamkan
karena keturunan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada dua syarat yang
harus dipenuhi agar susuan mengakibatkan keharaman yaitu:
- Susuan tersebut terjadi sebelum usia dua tahun
- Susuan terjadi sebanyak lima kali secara terpisah. Syarat yang kedua ini ditetapkan oleh Mazhab Syafii dan Mahzad Hanbali
D. Faktor-Faktor Pendorong
Nikah ‘Urfi atau nikah siri
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan seorang untuk memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Di
antaranya adalah:
1. Faktor Sosial:
a. Problem Poligami
Syari’at Islam
membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu
istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan
sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya
atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya.
Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia
ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan pernikahan
model ini.
b. Undang-Undang Usia
Dalam suatu Negara,
biasanya ada undang-undang tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang
pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam
undang-undang, maka diapun akhirnya memilih jalan ini.
c. Tempat Tinggal Yang
Tidak Menetap
Sebagian orang tidak
menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaan yang digelutinya.
Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya
tidak bisa menemaninya di sana. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna
menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam sebagian suku
atau Negara masih mengakar adat jual mahal maskawin alias mahar sehingga
menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri
yang ridho dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan model
ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor agama
Termasuk faktor juga
adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk
memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu
pernikahan resmi.
Bab III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Nikah siri
adalah nikah yang di laksanakan secara sembuny- sembunyi, dan nikah siri itu
sah menurut agama karna sudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Tetapi , perkawinan di Indonesia tidak berdasarkan hukum Islam. Melainkan
hukum positif, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1/ 1974.
2.
Tidak
semua orang laki-laki bisa menikahi
wanita karena ada beberapa wanita yang haram untuk di nikahi oleh orang
laki-laki. Karena mungkin ada hubungan kekerabatan, perkawinan bahkan
persusuan.
3.
Nikah
siri itu bisa terjadi karena berbagai faktor mungkin karena faktor social,
ekonomi(harta) dan juga agama.
Daftar pustaka
[1] syeh muhammad bin qosim al-ngoza,fathul qorib
mujib,hlm.43
[2] Perkataan al-Fara’ diatas disebutkan oleh Imam Nawawi
di dalam Syarh Shahih Muslim juz : 9, hlm : 171
[3] Qs. an-Nisa’ : 3
[4] Qs. an-Nisa : 22
[5] Qs. al- Baqarah : 230
[6] Ibnu al-Arabi di dalam buku Ahkam al-Qur’an,
juz : 1, hlm : 267 menyebutkan bahwa Sa’id bin al-Musayib berpendapat
bahwa seorang perempuan yang telah dicerai suaminya tiga kali, maka dia menjadi
halal lagi bagi suaminya yang pertama, jika sudah melakukan akad nikah dengan
suami yang kedua, tanpa harus melakukan hubungan seksual dengannya berdasarkan
dhahir dari ayat di atas ( Qs 2 : 230 ), kemudian Ibnu Arabi membantah pendapat
tersebut. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa istri yang
sudah dicerai 3 kali, harus melakukan hubungan seksual dengan suami yang kedua
sebelum kembali kepada suami yang pertama ( Muhammad Syamsul al-Haq al –Adhim
Abadi, Aun al-Ma’bud, juz : 6, hlm : 301 )
[7] HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas dari
riwayat Abu Daud.
[8] HR. Muslim
[9] Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah
[10] Penjelasan di atas disebutkan oleh al- Farisi dan
dinukil oleh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini di dalam Kifayah al-Akhyar,
hlm : 460. Dan disebutkan juga oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh
al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.
[11] Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah
al-Akhyar, hlm : 460
[12] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm :
79.
[13] Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz : 6, hlm :
117
[14] Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3,
hlm : 179
[15] Qs. ar- Ra’du : 38
[16] HR. Bukhari dan Muslim
[17] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm :
80.
1 komentar:
nice share gan. lengkap penjelasannya
souvenir pernikahan murah
Posting Komentar