MAKALAH
QAIDAH USHULIYAH
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu:
Najib Buchori, Lc
Najib Buchori, Lc
![]() |
Oleh :
1.
Syihabuddin
Alwy
2.
Nur
Salim
3.
Moh. Nur Faqih
FAKULTAS USHULUDDIN PROGRAM
STUDI
ILMU
AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ANWAR
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
PENDAHULUAN
Qaidah penggalian hukum dari sumbernya atau qaidah ushuliyah
merupakan salah satu objek pembahasan ushul fiqh. Secara operasional,
penggalian hukum yang merupakan makna praktis ushul fiqh ini tidak dapat
dilakukan dengan sembarangan. Secara implementatif, pelaksanaannya memerlukan
sejumlah peraturan yang sesuai dengan tuntutan hukum syari’.
Dalam bagian ini, Anda akan diantarkan kepada suatu pemahaman
mengenai kaidah-kaidah ushuliyah, apa saja yang termasuk kaidah ushuliyah, dan
bagaimana penggunaannya. Dalam kesempatan ini kami ingin menjelaskan sedikit
tentang mutlaq, muqayyad, khas, ‘am, mujmal, dan mubayyan. Dan juga kami akan
menjelaskan tentang cara mengidentifikasi dan cara pengamalanya.
Pengalian hukum dari sumbernya atau qaidah usuliyah kadang-kadang
di ambil dari al-qur’an dan kadang juga dari al-hadits atau juga dari qiyas.
Karena kita kadang tidak bisa mengambil suatu hukum hanya berpegang dengan satu
dasar.
Contoh Mentakhsis Al-Quran dengan Hadits: Seperti firman Allah SWT. QS. An-Nisa’: 11:
يوصيكم
الله في أولادكم للذّكر مثل حظّ الأنثيين
Artinya: “Allah mensyariahkan bagimu tentang (pembagain pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak.
Ayat ini memberikan pengertian umum, baik Islam maupun kafir,
tetapi keumuman lafal “auladikum” (anak-anakmu) itu ditakhsis dengan sebuah
hadis yang menyatakan sebagai berikut :
لايرث
المسلم الكافر ولايرث الكافرالمسلم(رواه البحارى و المسلم)
Artinya: “Orang Islam itu tidak dapat menerima warisan dari orang
kafir dan orang kafir tidak mernerima warisan dari orang Islam” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Artinya bahwa
sebenarnya ayat yang pertama itu masih umum penjelasanya tentang pembagian
warisan kepada anak-anaknya dan ayat tadi di khususkan mengunakan hsdits yang
mengatakan bahwa hanya kepada anak mereka yang Islam dan yang kafir tidak mendapatkan
warisan.
Dan lebih jelasnya akan kami bahas dalam makalah kami ini. Semoga
bermanfaat.
PEMBAHASAN
1. ‘AM
a. definisi ‘Am
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan
menurut istilah ialah Lafal yang meliputi
pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan
hanya disebut sekali.
Dengan pengertian lain, al-’am ialah suatu perkataan yang
memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam
perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: Al-Insan yang berarti
manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk
dalam tujuan perkataan ini, sekali mengucapkan lafal Al-Insan berarti
meliputi jenis manusia seluruhnya.
Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang pengertiannya
mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal. Sedangkan lafal
yang hanya menunjukkan beberapa orang seperti Rijalun tidak termasuk
lafal umum.[1]
Dan sifat-sifat yang menunjukan ‘am itu ada 8 yaitu:
1.
Lafal-lafal yang menunjukan ma’na jama’, contoh: كل, جميع, معشر, معاشر, كافة, قاطبة. Contoh: Kullun:
misalnya firman Allah QS. Ali-Imran : 185:
كل
نفس ذاعقة الموت
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa, akan merasakan mati.”
2.
Jama’ yang di ma’rifatkan dengan ال لإستغراق الأفراد atau di ma’rifatkan dengan إضفهcontoh: Makrifat dengan alif lam (al), seperti firman Allah QS. Al-Maidah : 42:
إنً الله يحب المقسطين
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang adil.”
3.
Mufrad yang di ma’rifatkan dengan ال لإستغراق الأفراد atau di ma’rifatkan dengan إضافهcontoh: QS. Al-Baqarah : 275
وأحلً
الله البيع وحرًم الرً بوا
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengahramkan riba.”
4.
Nakirah dalam runtutan nafi, nahi dan syarat contoh:
وَاتًقوا
يوما لاتجزي نفس عن نفس شيئا
Artinya: “Jagalah
dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu seorang pun tidak dapat
membela orang lain, walau sedikit pun.”
5.
Isim-isim mausul. Contoh:
إنً
الًذين يأ كلون أمنوال اليتامى طلما إنًما يكلون بطونهم وسيصلون سعيرا
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya, benar-benar
orang-orang itu makan api pada perut mereka.”
6.
Isim-isim isyarat. Contoh: Man
(barang siapa):
misalnya firman Allah QS. An-Nisa’ :123:
من
يعمل سوءا يجزبه
7.
Isim-isim istifham. Contoh: Ma
(apa): misalnya firman Allah QS. Al-Muddasir : 42:
ما
سلككم في سقر
Artinya: “Apa
sebab kamu masuk neraka?”
2. KHAS
a. Pengertian Lafal Khas
Di samping lafal ‘am, ada juga lafal khas, yaitu perkataan atau
susunan yang mengadung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah
kebalikan dari ‘am. Lafal khusus ini adakalanya dipergunakan untuk seorang, barang,
atau hal tertentu, seperti Abdullah, radio, atau Puasa Ramadhan. Dan adakalanya
kalimat ini
dipergunakan untuk dua orang atau barang seperti dua orang suami-istri atau sepasang pena Hero.
Lafal khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi, seperti lafal
Ar-Rijaal (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak
meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa
kepada batasan. Artinya
tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagaian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa istilah yang erat hubungannya
dengan khas, antara lain takhsis dan mukhassis. Takhsis ialah mengeluarkan sebagian
lafal yang berada dalam lingkungan umum menurut batasan yang tidak ditentukan. Mukhassis ialah suatu dalil
(alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal tersebut.
Mukhassis ada 2 (dua) macam, yaitu mukhassis muttasil dan mukhassis
munfasil.[2]
1.
Mukhassis Muttasil , Yaitu lafal yang tidak berdiri sendiri,
yakni maknanya
bersangkutan dengan lafal sebelumnya. Misalnya firman Allah QS. Al- An’am :151 :
ولاتقتلوا النّفس الّتي حرّم الله
إلاّ بالحقّ
Artinya: “Dan
janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu yang benar”.
Susunan “Janganlah kamu
membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya” itu menunjukkan umum,
artinya tidak boleh membunuh siapa pun. “Melainkan dengan jalan yang benar”
yaitu qisas atau di dalam pertempuran.
2. Mukhassis Munfasil , Yaitu lafal yang berdiri sendiri, terpisah
dari dalil yang memberikan pengertian umum. Misalnya firman Allah QS. Al-A’raf
: 31:
وكلوا واشربوا ولاتسرفوا
Artinya:
“Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Perkataan “Makanlah …” itu umum, yakni boleh makan apa saja yang
kita kehendaki, tetapi keumuman ini telah dibatasi oleh Allah dengan firman-Nya
juga.
QS.
Al-Baqarah : 173, sebagai berikut:
إنّما حرّم عليكم الميتة والدّم ولحم
الخنزيز وما أهلّ لغير الله به
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (makan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah.”Ayat ini membatasi keumuman ayat 31 dari surat Al-A’raf dan
menentukan bahwa yang haram itu hanya 4 macam makanan tersebut di atas.
Pembatasan ini tidak terdapat pada satu ayat dalam surat Al-A’raf ayat 31
melainkan terpisah (munfasil).
3. MUJMAL DAN MUBAYYAN
a. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal
dalam arti sederhana adalah Lafadz
yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di
dalamnya.
Mujmal ini adalah lafadz yang samar, karena dari segi sighatnya
sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan
qarinah yang dapat mengantarkan kita memahami maksudnya, tidak munkgin pula
dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari Syari’
(Pembuat Hukum) sendiri (dalam hal ini hadits Nabi) (Amir Syarifuddin, Jilid
II, 2008: 20). Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat
menunjukkan arti yang sebenarnya, apabila tidak ada keterangan lain yang
menjelaskannya. Penjelasan ini disebut Al-Bayan. Ketidakjelasan ini
disebut Ijmal (Moh. Riva’i, 1987: 84).
Contoh lafal yang mujmal, sebagimana firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 228
berikut ini:
والمطلقت يتربصن بأنفسهنّ ثلاثة قروءٍ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’.”
Lafal quru’ ini disebut mujmal, karena mempunyai dua arti yaitu
haid dan suci. Kemudian mana di antara dua macam arti ini yang dikehendaki oleh
ayat tersebut, maka diperlukan penjelasan yaitu bayan. Itulah contoh ijmal
dalam lafal tunggal.
Contoh dalam lafal yang murakkab (susunan kata-kata) yang terdapat
dalam Q.S. Al-
Baqarah: 237 sebagai berikut:
أويعفوا
الّذى بيده غقدة النّكاح
Artinya:
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”.
Dalam
ayat tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapakah yang dimaksud
orang
yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud
suami
tatau wali. Kemudian untuk menentukan siapa di antara kedua itu yang dimaksud
pemegang
ikatan nikah, maka diperlukan bayan.
Selain
tersebut di atas, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya dlamir yang ihtimal
(layak)
menunjukkan dua segi, sebagaimana sabda Nabi SAW. sebagai berikut:
لايمنع
احدكم جاره ان يضع خشبه في جداره
Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kamu menghargai
tetangganya untuk meletakan
kayu pada dindingnya”.
Kata “nya” pada “dindingnya” masih mujmal, artinya belum jelas
apakah kembalinya itu kepada dinding orang itu atau pada tetangga. Mujmal ini
hampir sama dengan ‘Am (umum) dan muthlaq. Karena itu perlu mengetahui
perbedaan antara ketiga tersebut, agar tidak salah menentukan masalahnya.[3]
b.
Macam-macam Al-Bayan
Al-Bayan artinya penjelasan; di sini maksudnya ialah menjelaskan
lafal atau susunan yang mujmal. Secara etimologis, al-bayan ialah:
Artinya,
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit ke tempat yang jelas”.
Dengan
demikian, mubayyan ialah suatu lafal yang terang maksudnya, tanpa
memerlukan
penjelasan
dari lainnya.
Bayan
itu ada bermacam-macam, sebagai berikut:
1)
Bayan dengan perkataan
Sebagaimana
firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah: 196:
Artinya: “Barang siapa tidak mendapat (beli binatang qurban),
hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji, dan tujuh hari apabila kamu
kembali; yang demikian itu sepuluh hari sempurna”.
Lafal tujuh dalam bahasa Arab sering ditujukan kepada banyak yang
diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh betul-betul, maka Allah
iringi firmanNya sepuluh hari sempurna. Penjelasan tujuh betul-betul dalam
ayat ini adalah dengan ucapan.
2)
Bayan dengan perbuatan
Misalnya
penjelasan Nabi Muhammad SAW. Pada cara-cara sholat dan haji.
صلوا كما رأيتموا ني أصلي
Artinya:
«Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku menjalankan shalat» (HR.
Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi SAW. yakni
beliau mengerjakan sebagaimana cara beliau mengerjakan, sambil menyuruh orang
menirunya. Karena itu, penjelasan seperti ini disebut “bayan dengan perbuatan”.
3) Bayan dengan isyarat
Misalnya
penjelasan Nabi SAW. tantang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan
ini
diberikan kepada sahabat beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni
30
hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang
terakhir.
Maksudnya bahwa bulan Arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
4)
Bayan dengan meninggalkan sesuatu
Misalnya
hadis Ibnu Hibban yang menerangkan:
Artinya:
«Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW tidak berwudlu karena makan apa
yang
dipanaskan oleh api».
Hadis
ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi SAW. tidak berwudlu lagi
setiap
kali selesai makan daging yang dimasak.
5) Bayan dengan diam
Misalnya tatkala Nabi SAW. menerangkan wajibnya ibadah haji, ada
seseorang yang bertanya “Apakah setiap tahun ya Rasululah?” Rasulullah berdiam
tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa kewajiban haji
itu tidak tiap-tiap Tahun.[4]
4.
Mutlaq
a. Pengertian
Mutlaq
Mutlaq yaitu
lafad yang menunjukan arti hakikat sesuatu tanpa memandang bentuk jama’,
tasniyah dan sifat, tetapi ditinjau dari hakikatnya. [5]
Contoh perkataan أيدكم
Dalam ayat 43 QS. An-Nisa’ :
فلم تجدوا ماء
فتيمّموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكموأيديكم
Artinya: “Apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan
debu yang
suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu”.
Mengusap tangan
dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat
dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah
semuanya diusap atau
sebagainya. Yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena
perkataan وأيدكم
(tanganmu) ini
tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja
asalkan bagian tangan. Karena
itu, disebut mutlaq.
2. Muqayyad
a.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad atau Al-Muqayyad
ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.
Batas-batas yang tertentu tadi disebut Al-Qaid.
Contohnya, perkataan: وايديكم إلى المرافقYang
artinya basuhlah tanganmu sampai siku-siku, yang terdapat dalam ayat 6 surat al-Maidah:
وايديكم إلى
المرافق
Artinya: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”.
Ayat ini menerangkan soal wudlu, yaitu harus membasuh muka dan
tangan sampai siku-siku.
Di sini jelaslah bahwa lafal ini disebut
muqayyad (dibatasi),
sedangkan lafal disebut Al-Qaid
yang kadang-kadang disebut dengan kata qaid.
Contoh lain adalah perkataan “Raqabatin Mu’minatin” yang artinya, budak yang
mukmin. Yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ : 92:
ومَن قتلَ مؤمناً خطأً فتحريرٌ رقبةٍ
مؤمنةٍ
Artinya: “Barang siapa yang membunuh orang mukmin
karena tersalah, maka wajiblah
memerdekakan
budak mukmin”.
Dalam ayat ini, terdapat ketentuan, yaitu terbatas pada budak mukmin sehingga harus memerdekaan budak yang mukmin saja (dalam
soal pembunuhan yang tidak
disengaja)
PENUTUP
1. Kesimpulan
Peranan ushul fiqih dalam mengembangkan fiqih islam dapat di katakana
sebagian penolong fiqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari
dalil-dalilnya, di samping itu dapat juga disebut kerangka acuan yang dapat
digunakan sebagian pengembangan pemikiran fiqih
islam dan sebagai penyaring pemikiran seorang mujtahid. Ilmu ushul fiqih
mempunyai banyak kaidah, diantara kaidah-kaidah tersebut adalah Mutlaq,
Muaqayyad, Khas, ‘Am, Mujmal, dan Mubayyan.
DAFTAR PUSTAKA
, Suhartini,Andewi.,Ushul
fiqih, Jl. Lapangan Banteng Barat Mo. 3-4 Jakarta Pusat,2012
Uman, khairul., dan Aminudin, Achyar., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia 2001
Syayid
muhammad., Qowaidul Asasiyah, jadah, 1319 H
Nafan,Muhammad.,
Risalatus ushuliyah, kudus
Riva’i, moh., Ushul
Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif, 1987
0 komentar:
Posting Komentar