QAIDAH USHULIYAH

on Jumat, 06 Juni 2014
MAKALAH
QAIDAH USHULIYAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu:
Najib Buchori, Lc


 









                                    
                                          Oleh :
1.     Syihabuddin Alwy
2.     Nur Salim
3.     Moh. Nur Faqih

                 FAKULTAS USHULUDDIN  PROGRAM STUDI
                            ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
                SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ANWAR
TAHUN AKADEMIK 2012/2013

PENDAHULUAN

Qaidah penggalian hukum dari sumbernya atau qaidah ushuliyah merupakan salah satu objek pembahasan ushul fiqh. Secara operasional, penggalian hukum yang merupakan makna praktis ushul fiqh ini tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Secara implementatif, pelaksanaannya memerlukan sejumlah peraturan yang sesuai dengan tuntutan hukum syari.
Dalam bagian ini, Anda akan diantarkan kepada suatu pemahaman mengenai kaidah-kaidah ushuliyah, apa saja yang termasuk kaidah ushuliyah, dan bagaimana penggunaannya. Dalam kesempatan ini kami ingin menjelaskan sedikit tentang mutlaq, muqayyad, khas, ‘am, mujmal, dan mubayyan. Dan juga kami akan menjelaskan tentang cara mengidentifikasi dan cara pengamalanya.
Pengalian hukum dari sumbernya atau qaidah usuliyah kadang-kadang di ambil dari al-qur’an dan kadang juga dari al-hadits atau juga dari qiyas. Karena kita kadang tidak bisa mengambil suatu hukum hanya berpegang dengan satu dasar.
Contoh Mentakhsis Al-Quran dengan Hadits:  Seperti firman Allah SWT. QS. An-Nisa’: 11:

يوصيكم الله في أولادكم للذّكر مثل حظّ الأنثيين  
Artinya: “Allah mensyariahkan bagimu tentang (pembagain pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak.

Ayat ini memberikan pengertian umum, baik Islam maupun kafir, tetapi keumuman lafal “auladikum” (anak-anakmu) itu ditakhsis dengan sebuah hadis yang menyatakan sebagai berikut :
لايرث المسلم الكافر ولايرث الكافرالمسلم(رواه البحارى و المسلم)
Artinya: “Orang Islam itu tidak dapat menerima warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mernerima warisan dari orang Islam” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Artinya bahwa sebenarnya ayat yang pertama itu masih umum penjelasanya tentang pembagian warisan kepada anak-anaknya dan ayat tadi di khususkan mengunakan hsdits yang mengatakan bahwa hanya kepada anak mereka yang Islam dan yang kafir tidak mendapatkan warisan.       
Dan lebih jelasnya akan kami bahas dalam makalah kami ini. Semoga bermanfaat.



PEMBAHASAN
1. ‘AM
a. definisi ‘Am
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah  Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekali.
Dengan pengertian lain, al-’am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: Al-Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini, sekali mengucapkan lafal Al-Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya.
Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang pengertiannya mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal. Sedangkan lafal yang hanya menunjukkan beberapa orang seperti Rijalun tidak termasuk lafal umum.[1]
Dan sifat-sifat yang menunjukan ‘am itu ada 8 yaitu:
1.      Lafal-lafal yang menunjukan ma’na jama’, contoh: كل, جميع, معشر, معاشر, كافة, قاطبة. Contoh: Kullun: misalnya firman Allah QS. Ali-Imran : 185:

كل نفس ذاعقة الموت
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa, akan merasakan mati.”

2.       Jama’ yang di ma’rifatkan dengan ال لإستغراق الأفراد  atau di ma’rifatkan dengan إضفهcontoh: Makrifat dengan alif lam (al), seperti firman Allah QS. Al-Maidah : 42:

إنً الله يحب المقسطين
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

3.      Mufrad yang di ma’rifatkan dengan ال لإستغراق الأفراد  atau di ma’rifatkan dengan  إضافهcontoh: QS. Al-Baqarah : 275

وأحلً الله البيع وحرًم الرً بوا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengahramkan riba.”

4.      Nakirah dalam runtutan nafi, nahi dan syarat contoh:

وَاتًقوا يوما لاتجزي نفس عن نفس شيئا
Artinya: “Jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu seorang pun tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.”



5.      Isim-isim mausul. Contoh:
إنً الًذين يأ كلون أمنوال اليتامى طلما إنًما يكلون بطونهم وسيصلون سعيرا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang-orang itu makan api pada perut mereka.”
6.      Isim-isim isyarat. Contoh: Man (barang siapa): misalnya firman Allah QS. An-Nisa’ :123:
من يعمل سوءا يجزبه

7.      Isim-isim istifham. Contoh: Ma (apa): misalnya firman Allah QS. Al-Muddasir : 42:
ما سلككم في سقر  
Artinya: “Apa sebab kamu masuk neraka?”
2. KHAS
a. Pengertian Lafal Khas
Di samping lafal ‘am, ada juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang mengadung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am. Lafal khusus ini adakalanya dipergunakan untuk seorang, barang, atau hal tertentu, seperti Abdullah, radio, atau Puasa Ramadhan. Dan adakalanya kalimat ini dipergunakan untuk dua orang atau barang seperti dua orang suami-istri atau sepasang pena Hero. Lafal khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi, seperti lafal Ar-Rijaal (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagaian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa istilah yang erat hubungannya dengan khas, antara lain takhsis dan mukhassis. Takhsis ialah mengeluarkan sebagian lafal yang berada dalam lingkungan umum menurut batasan yang tidak ditentukan. Mukhassis ialah suatu dalil (alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal tersebut.
Mukhassis ada 2 (dua) macam, yaitu mukhassis muttasil dan mukhassis munfasil.[2]
1.      Mukhassis Muttasil  , Yaitu lafal yang tidak berdiri sendiri, yakni maknanya bersangkutan dengan lafal sebelumnya. Misalnya firman Allah QS. Al- An’am :151 :

ولاتقتلوا النّفس الّتي حرّم الله إلاّ بالحقّ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu yang benar”.

 Susunan “Janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya” itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh siapa pun. “Melainkan dengan jalan yang benar” yaitu qisas atau di dalam pertempuran.
2. Mukhassis Munfasil  , Yaitu lafal yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum. Misalnya firman Allah QS. Al-A’raf : 31:
وكلوا واشربوا ولاتسرفوا
Artinya: “Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Perkataan “Makanlah …” itu umum, yakni boleh makan apa saja yang kita kehendaki, tetapi keumuman ini telah dibatasi oleh Allah dengan firman-Nya juga.
QS. Al-Baqarah : 173, sebagai berikut:
إنّما حرّم عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزيز وما أهلّ لغير الله به
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (makan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.”Ayat ini membatasi keumuman ayat 31 dari surat Al-A’raf dan menentukan bahwa yang haram itu hanya 4 macam makanan tersebut di atas. Pembatasan ini tidak terdapat pada satu ayat dalam surat Al-A’raf ayat 31 melainkan terpisah (munfasil).

3. MUJMAL DAN MUBAYYAN
a. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal dalam arti sederhana adalah Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.
Mujmal ini adalah lafadz yang samar, karena dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat mengantarkan kita memahami maksudnya, tidak munkgin pula dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari Syari’ (Pembuat Hukum) sendiri (dalam hal ini hadits Nabi) (Amir Syarifuddin, Jilid II, 2008: 20). Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti yang sebenarnya, apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Penjelasan ini disebut Al-Bayan. Ketidakjelasan ini disebut Ijmal (Moh. Riva’i, 1987: 84).
Contoh lafal yang mujmal, sebagimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228
berikut ini:
والمطلقت يتربصن بأنفسهنّ ثلاثة قروءٍ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafal quru’ ini disebut mujmal, karena mempunyai dua arti yaitu haid dan suci. Kemudian mana di antara dua macam arti ini yang dikehendaki oleh ayat tersebut, maka diperlukan penjelasan yaitu bayan. Itulah contoh ijmal dalam lafal tunggal.
Contoh dalam lafal yang murakkab (susunan kata-kata) yang terdapat dalam Q.S. Al-
Baqarah: 237 sebagai berikut:
أويعفوا الّذى بيده غقدة النّكاح
Artinya: “Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”.
Dalam ayat tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapakah yang dimaksud
orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud
suami tatau wali. Kemudian untuk menentukan siapa di antara kedua itu yang dimaksud
pemegang ikatan nikah, maka diperlukan bayan.
Selain tersebut di atas, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya dlamir yang ihtimal
(layak) menunjukkan dua segi, sebagaimana sabda Nabi SAW. sebagai berikut:
لايمنع احدكم جاره ان يضع خشبه في جداره
Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kamu menghargai tetangganya untuk meletakan kayu pada dindingnya”.
Kata “nya” pada “dindingnya” masih mujmal, artinya belum jelas apakah kembalinya itu kepada dinding orang itu atau pada tetangga. Mujmal ini hampir sama dengan ‘Am (umum) dan muthlaq. Karena itu perlu mengetahui perbedaan antara ketiga tersebut, agar tidak salah menentukan masalahnya.[3]
b. Macam-macam Al-Bayan
Al-Bayan artinya penjelasan; di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal. Secara etimologis, al-bayan ialah:

Artinya, “Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit ke tempat yang jelas”.
Dengan demikian, mubayyan ialah suatu lafal yang terang maksudnya, tanpa memerlukan
penjelasan dari lainnya.
Bayan itu ada bermacam-macam, sebagai berikut:
1) Bayan dengan perkataan
Sebagaimana firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah: 196:

Artinya: “Barang siapa tidak mendapat (beli binatang qurban), hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji, dan tujuh hari apabila kamu kembali; yang demikian itu sepuluh hari sempurna”.
Lafal tujuh dalam bahasa Arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh betul-betul, maka Allah iringi firmanNya sepuluh hari sempurna. Penjelasan tujuh betul-betul dalam ayat ini adalah dengan ucapan.


2) Bayan dengan perbuatan
Misalnya penjelasan Nabi Muhammad SAW. Pada cara-cara sholat dan haji.
صلوا كما رأيتموا ني أصلي
Artinya: «Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku menjalankan shalat» (HR.
Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi SAW. yakni beliau mengerjakan sebagaimana cara beliau mengerjakan, sambil menyuruh orang menirunya. Karena itu, penjelasan seperti ini disebut “bayan dengan perbuatan”.
3) Bayan dengan isyarat
Misalnya penjelasan Nabi SAW. tantang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan
ini diberikan kepada sahabat beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni
30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang
terakhir. Maksudnya bahwa bulan Arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
4) Bayan dengan meninggalkan sesuatu
Misalnya hadis Ibnu Hibban yang menerangkan:

Artinya: «Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW tidak berwudlu karena makan apa
yang dipanaskan oleh api».
Hadis ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi SAW. tidak berwudlu lagi
setiap kali selesai makan daging yang dimasak.
5) Bayan dengan diam
Misalnya tatkala Nabi SAW. menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seseorang yang bertanya “Apakah setiap tahun ya Rasululah?” Rasulullah berdiam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa kewajiban haji itu tidak tiap-tiap Tahun.[4]
4. Mutlaq

a. Pengertian Mutlaq

Mutlaq yaitu lafad yang menunjukan arti hakikat sesuatu tanpa memandang bentuk jama’, tasniyah dan sifat, tetapi ditinjau dari hakikatnya. [5]
Contoh perkataan أيدكم Dalam ayat 43 QS. An-Nisa’ :
فلم تجدوا ماء فتيمّموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكموأيديكم

Artinya: “Apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang
suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu”.

            Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat
dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagainya. Yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkataan وأيدكم (tanganmu) ini tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan. Karena itu, disebut mutlaq.

2. Muqayyad
           
a. Pengertian Muqayyad

 Muqayyad atau Al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.
Batas-batas yang tertentu tadi disebut Al-Qaid.
Contohnya, perkataan: وايديكم إلى المرافقYang artinya basuhlah tanganmu sampai siku-siku, yang terdapat dalam  ayat 6 surat al-Maidah:
وايديكم إلى المرافق
Artinya: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”.
Ayat ini menerangkan soal wudlu, yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Di sini jelaslah bahwa lafal  ini disebut muqayyad (dibatasi), sedangkan lafal  disebut Al-Qaid yang kadang-kadang disebut dengan kata qaid.

Contoh lain adalah perkataan “Raqabatin Mu’minatin”  yang artinya, budak yang mukmin. Yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ : 92:

          ومَن قتلَ مؤمناً خطأً فتحريرٌ رقبةٍ مؤمنةٍ

Artinya: “Barang siapa yang membunuh orang mukmin karena tersalah, maka wajiblah
memerdekakan budak mukmin”.
Dalam ayat ini, terdapat ketentuan, yaitu terbatas pada budak mukmin sehingga harus memerdekaan budak yang mukmin saja (dalam soal pembunuhan yang tidak disengaja)
Jadi lafal رقبةٍ  dalam ayat ini disebut muqayyad, sedangkan lafal مؤمنةٍ disebut Al-Qaid.[6]











                                                   PENUTUP

1.     Kesimpulan
          Peranan ushul fiqih dalam mengembangkan fiqih islam dapat di katakana sebagian penolong fiqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya, di samping itu dapat juga disebut kerangka acuan yang dapat digunakan sebagian pengembangan pemikiran fiqih  islam dan sebagai penyaring pemikiran seorang mujtahid. Ilmu ushul fiqih mempunyai banyak kaidah, diantara kaidah-kaidah tersebut adalah Mutlaq, Muaqayyad, Khas, ‘Am, Mujmal, dan Mubayyan.



















DAFTAR PUSTAKA
, Suhartini,Andewi.,Ushul fiqih, Jl. Lapangan Banteng Barat Mo. 3-4 Jakarta Pusat,2012
 Uman, khairul., dan  Aminudin, Achyar., Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia 2001

Syayid muhammad., Qowaidul Asasiyah, jadah, 1319 H
Nafan,Muhammad., Risalatus ushuliyah, kudus
 Riva’i, moh., Ushul Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif, 1987


[1] Khairul Uman & Achyar Aminudin, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, 2001)
[2]Andewi Suhartini, Ushul fiqih,( Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat,2012)
[3] Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987)

[4] Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987)
[5]Muhammad naf’an, Risalah usuliyah, (kudus:
[6] Khairul Uman & Achyar Aminudin, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, 2001)

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman