I.
Pendahuluan
Setelah sekian banyak kita membahas
tentang kitab kitab Tafsir mulai dari zaman Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan
karyanya yang terkenal Jami’ al-Bayan fi Tafsīr al-Qur`an yang terkenal
dengan Tafsir bil Ma`thurnya. Tafsīr al-Thabari ini merupakan tafsir
tertua, karena sebelum al-Thabari tidak ditemukan kitab tafsir lain dan bisa
dikatakan bahwa al-Thabari orang pertama yang melakukukan pembukuan tafsir. Setelah
al-Thabari munculah berbagai macam
kitab-kitab tafsir dengan corak dan karakter yang berbeda-beda. Ada yang
bercorak fiqih seperti tafsir al-Jashshash karya Abu Bakar Ahmad bin Ar-Rāzi, Mafātīh
al-Ghaib karya Fakhrūddin al-Rāzi yang bercorak Ilmi, dan masih banyak lagi
kitab tafsir yang pastinya memiliki corak yang khas.
Pada makalah ini kami ingin membahas
tentang sebuah kitab tafsir yang
terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Nasafī atau yang bernama
lengkap Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. mungkin sekilas masing
asing di telinga kita dan banyak orang yang belum mengetahui tentang tafsir
ini. Atas dasar itulah kami tergerak ingin sedikit mengkupas tentang Tafsīr
al-Nasafī mulai dari biografi,
metode, penafsiran dan semua hal yang ada dalam kitab ini. Dengan tujuan agar
menambah wawasan kajian tentang kita-kitab tafsir yang ada. sekaligus
mengatahui perkembangan penafsiran pada waktu itu.
II.
Mengupas
Tafsīr an-Nasafī
A.
Biografi al-Nasafī
Penulis kitab ini adalah Abu al-Barkāt
bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī al-Hanafī, atau yang lebih di kenal dengan
al-Nasafī. Beliau lahir di Nasaf, kota sind yang terletak di antara Jihun dan
Samarqand.[1]
Beliau adalah ahli tafsir terkenal dari
golongan ulama Hanafiah, beliau juga menguasai berbagai macam disiplin keilmuan diantaranya fiqih, ushul fiqih, akidah dan tafsir.[2]
Sebab Beliau lahir dari kalangan ulama ahli fiqih, ushul fiqih, akidah dan
tafsir, sehingga beliau mempunyai peluang dalam membentuk dan mencari potensi
yang beliau miliki, oleh karena itulah beliau berhasil merangkum berbagai metodologi
penelitian yang ada. Dengan menggunakan rasionalitas ulama kalam, dialektika
ahli ushul dan konklusi ahli fiqih. Bedanya, al-Nasafī mempunyai karakter
metodologi yang independen dalam karya-karyanya. Dan di samping itu juga beliau
kadang mendapatkan pengetahuan ada guru-gurunya seperti ; Syams al-‘Aimmah al-Kurdī,
Ahmad bin Muhammad al-‘itabī, dll.[3]
Karena ketekunannya, beliau berhasil
mengarang beberapa kitab di antaranya : “Umdah al-Aqāid fī al-kalām,, Syarh
Umdah al-Aqāid wa Samāh al-I’timad, Manār al-Anwar Fī ushūl al-Fiqih, al-Kafī fī
Syarh al-Wāfī fī al-Fiqh al-Hanafī, Dan Kanz Al-daqāiq Fī fiqih Hanafī.
Sebagian besar karyanya telah diterbitkan hingga beliau dikenal sebagai ahli tafsir,
faqih, Ahli teologi dan ushul fiqh.[4]
Imam Al-Nasafī tidak begitu berbeda
dengan ulama’ kebanyakan, sosoknya yang zuhud, saleh dan taqwa, di samping itu
aktif dalam kegiatan ilmiah, pengkajian dan penelitian, beliau merupakan
seorang ahli yang terkenal di masanya dan masa sesudahnya.[5]
Imam An-Nasaī wafat pada tahun 701 H
di kota ‘Aidzaj yang terletak di antara Khuzistan dan Asfahan.
B.
Metode PenyajianTafsīr al-Nasafī
Imam Al-nasafī menamakan tafsirnya
dengan Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl.
Tafsir ini termasuk sebagian dari kitab yang dikategorikan sebagai kitab tafsir
ilmiah yang cermat, tidak berbelit hingga membosankan dan tidak terlalu ringkas
hingga memiliki banyak kekurangan.
Imam an-Nasafī menjelaskan dalam muqaddimah
kitabnya tentang latar belakang penulisan kitab tafsirnya "Saya telah
diminta oleh seseorang yang harus dipenuhi permintaannya agar menulis kitab
tafsir yang menghimpun berbagai i'rab dan qira'at, ilmu badi, isyarat yang detail
yang sarat dengan pandangan ahlusunnah dan terbebas dari kebatilan ahli bid'ah
dan kesesatan.[6]
Tafsir ini merupakan kutipan dari Tafsīr
Al-Kassyāf dan Tafsīr Al-Baiḍāwy, dalam segi kebahasaan beliau mengutibnya dari Tafsīr
Al-Kassyāf yaitu dalam segi I'rab dan balagah meliputi segi badhi'nya dan
ma'aninya. Akan tetapi, beliau tidak mengikuti
apa yang ada dalam Tafsīr al-Kassyāf secara keseluruhan melainkan beliau
menghapuskan teologi mu’tazilahnya. Beliau
juga melakuakan kritik terhadap penafsiran al-Zamkhasharī dengan berkata (فإن قيل ....قلت). Penafsiran beliau cenderung pada
pemikiran ulama ahlu sunnah, dengan begitu beliau mempunyai sikap yang
tegas dan jelas terhadap setiap penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an,
Khususnya terhadap Tafsīr al-kassyāf. dirinya tidak hanya mengkritis
pemikiran mu’tazilah dalam Tafsīr al-kassyāf, namun juga seluruh buku-buku
teologis karya al-Zamkhasharī. Sedangkan dari kitab Tafsīr Al-Baiḍāwy lebih
cenderung mengambil makna-makna mendalam, pemahamannya, wejangan-wejangannya,
dan pembahasannya yang fokus.[7]
Adapun
contoh sebagai bukti dari ungkapan di atas adalah :
Menurut
pendapat Al-Asy'arī "segala yang dapat dilihat dan menyebabkan dapat
dilihat dari sisi keberadaannya.” Dalam Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ di jelaskan
bahwa setiap orang yang beriman dapat melihat Zat Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
pada hari kiamat.[8] Sebagaimana
Firman Allah Ṣubḥānahu
wa Ta’ālā :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ
نَّاضِرَةٌ . إلى رَبّهَا نَاظِرَةٌ .
Artinya :"Wajah-wajah orang mukmin pada hari
itu berseri-seri, kepada tuhan mereka melihat."[9]
Tafsir
Imam al-Nasafy pada ayat di atas sebagai berikut:
}وُجُوهٌ } هي وجوه المؤمنين } يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ } حسنة ناعمة { إلى
رَبّهَا نَاظِرَةٌ } بلا كيفية ولا جهة ولا ثبوت مسافة . وحمل النظر على الانتظار
لأمر ربها أو لثوابه لا يصح لأنه يقال
: نظرت فيه أي
تفكرت ، ونظرته انتظرته ، ولا يعدى ب «إلى» إلا بمعنى الرؤية مع أنه لا يليق
الانتظار في دار القرار { وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ } كالحة شديدة العبوسة
وهي وجوه الكفار.[10]
Dalam penafsiran ayat di
atas Beliau mengadopsi kedalaman makna, pemahaman yang rasional, pengarahan yang
tepat dan kelugasan yang fokus yang di kutip dalam Tafsīr al-Baiḍāwy,
di
samping itu beliau juga menyanggah pendapat al-Zamkhasharī dengan memaparkan pendapatnya, akan tetapi Imam al-Nasafi
tidak terbelenggu dalam fanatisme aliran mu’tazilah seperti yang dilakukan al-Zamkhasharī dalam Al-kassyāf. Imam al-Nasafi justru bersebrangan
dengan al-Zamakhayarī Dirinya membantah
setiap pendapat mu’tazilah yang menyalahi al-Asy’arī dengan menggunakan metode al-Zamkhasharī.
Beliau dalam menafsirkan al-Qur’an,
dalam masalah penjabaran makna mengunakan metode ijmali yaitu suatu
metode penafsiran ayat-ayat al-Qur`an, di mana penjelasan yang dilakukan cukup
singkat dan global. Kemudian dalam sistematika penyajianya beliau menggunakan
metode penyajian runtut (tahlili) yaitu suatu model penyajian penulisan
tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada urutan ayat dan surat yang
terdapat dalam mushaf al-Qur`an atau mengacu pada urutan turunya wahyu.
Tafsīr al-Nasafī tergolong dalam Tafsīr
bil Ra’yi Mahmud, karena kebanyakan dari penjelasan beliau mengunakan Ra’yu.
Meskipun begitu beliau kadang dalam
penafsiranya juga mengunakan Hadis Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam. Meski
kadar Ma’thur dalam tafsir tersebut hanyalah
sedikit.
Beliau
merupakan ulama’ yang bermazhab Hanafiah.[11] Hal ini dapat dibuktikan
dengan pendapat Imam al-Nasafī dalam menafsirkan ayat “وامسحوا بِرُؤُوسِكُم “ : “Imam hanafi mewajibkan membasahi seperempat kepala, atau
cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepala.[12] Begitu pula dalam kitab an-Nasafi
sebagai berikut :
(وامسحوا بِرُؤُوسِكُمْ) المراد إلصاق
المسح بالرأس ، ومسح بعضه ومستوعبه بالمسح كلاهما ملصق للمسح برأسه
“yang dimaksud dengan membasuh
kepala yaitu membasahi seluruh rambut di kepala, sebagian ataukah secara
keseluruhan semua kepala dibasahi”.[13]
Sedangkan Imam-Imam yang lain
seperti Imam Syafi’i, bahwa yang dimaksud ” وامسحوا
بِرُؤُوسِكُم” adalah wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan
membasahi atau menyiram sebagai penganti dari mengusap. Lain lagi dengan Imam
Malik dan Imam Hambali. Imam Malik mewajibkan mengusap semua kepala tanpa
telinga, sedangkan Imam Hambali mewajibkan mengusap semua kepala dan kedua
telinga.[14]
C. Isra’iliyat Dalam Tafsīr
al-Nasafi
Dalam masalah isra’iliyat beliau sangat sedikit sekali
menyebutkan dalam tafsirnya, sehingga ini menjadi nilai positif dalam bagi Tafsīr
al-Nasafī. beliau berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyentuhnya.[15] Selain itu Terbukti pula al-Nasafī tidak menyebutkan Hadis-Hadis palsu yang
berhubungan dengan keutamaan surah-surah dalam al-Qur’an. Ini di buktikan dengan pernyataan Dr. Muhammad Husain
al- al-Dhahabī dalam kitab al-Tafsīr
Wa al-Mufassirūn beliau mengungkakan bahwa :
ومما
نلحظه على هذا التفسير أنه مُقِل جداً فى ذكره للإسرائيليات، وما يذكره من ذلك يمر
عليه بدون أن يتعقبه أحياناً، وأحياناً يتعقبه ولا يرتضيه.[16]
“Seperti
apa yang kita perhatikan dari tafsir ini, bahwasanya dia menyedikitkan dalam
penyebutan isra’iliyat. dan dalam penyebutannya kadang-kadang beliau
menyantumkannya, kadang-kadang mengomentarinya.”
Dalam
pernyataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ketita Dalam menyebutkan
isra’iliyat terkadang beliau tidak memberi komentar dan terkadang beliau
mengungkapkan ketidak setujuannya. Beberapa contoh penafsiran yang di tuliskan
oleh Dr. Muhammad Husain al-Dhahabī dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn
di antaranya:
وَهَلْ أَتَىٰكَ نَبَؤُا ٱلْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا ٱلْمِحْرَابَ ﴿٢١﴾ إِذْ دَخَلُوا عَلَىٰ دَاوُۥدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَا إِلَىٰ سَوَاءِ ٱلصِّرَٰطِ ﴿٢٢﴾
" Dan apakah telah sampai kepadamu
berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab? ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut
karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, "Janganlah takut! (Kami)
berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain;
maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari
kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus."[17]
Dr. Muhammad Husain al-Dhahabī menulis bahwa setelah
menyebutkan riwayat yang tidak bertentangan dengan kemaksuman Nabi Ḍāwud, Al-Nasafī
berkata,"Hikayat bahwa dia (Sulaiman) mengutus Auria kedua kalinya ke
peperangan Balqa agar dia (Auria) terbunuh supaya istrinya (Auria) dinikahi
olehnya (Sulaiman), kisah tersebut sangat kontradiksi dengan orang yang
memiliki sifat kesalihan, terlebih lagi para Nabi”. ‘Ali bin Abi Thalib berkata," Barangsiapa
bercerita kepadamu satu hadits tentang Ḍāwud seperti yang diceritakan oleh para
ahli kisah dan tukang cerita, hendaklah kamu mencambuknya 160 kali. Karena ia
melakukan kebohongan tentang Nabi..."
Adapun
contoh lain Ketika beliau menafsirkan
surat Saad ayat 34:
"
Dan sungguh, Kami telah
menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai
tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat. ", beliau menyebutkan sejumlah
riwayat yang tidak kontradiksi dengan kemaksuman sulaiman ‘Alayhi al-Salām.
Kemudian al-Nasafī berkata, "Adapun tentang riwayat tentang cincin dan
setan serta penyembahan setan di rumah Sulaiman ‘Alayhi al-Salām,
merupakan riwayat batil dari orang-orang Yahudi."[18]
Dari kisah-kisah di atas dapat kita ambil kesimpulan bagaimana
sikap al-Nasafī terhadap kisah
isra’iliyat. beliau melakukan kritik tentang kisah isra’iliyat tersebut dengan
mengungkapkan ketidaksetujuannya melalui cara menyebutkan riwayat-riwayat yang
tidak bertentangan dengan kebenaran orang atau kaum yang diceritakan kemudian
setelah itu menyebutkan kisah yang bertentangan dengan riwayat tersebut.
Seperti halnya kisah tentang nabi Daud ‘Alayhi al-Salām di atas, di katakana
bahwa nabi Dawūd menyuruh Auria untuk berperang agar dia terbunuh sehingga beliau
dapat menikahi istrinya. Jika kita telahah lebih dalam tidak mungkin seorang
Nabi berlaku seperti itu, karena bagaimanpun Nabi adalah seseorang yang maksum
yang pasti akan selalu dijaga oleh Allah
Ṣubḥānahu wa Ta’ālā .
III.
Kesimpulan
Tafsīr al-Nasafī atau yang lebih terkenal
dengan Madārik
at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl ditulis oleh Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī al-Hanafī.
Beliau lahir di Nafas, kota Sind yang terletak diantar Jihun dan
Samarqand. wafat pada tahun 701 H di
kota ‘Aidzaj yang terletak di Khuziztan dan asfahan. beliau merupakan ulama’
yang bermazhab Hanafī. Tafsir al-Nasafī merupakan kutipan dari Tafsīr al-Kassyāf dan Tafsīr al-Baiḍāwy.
Akan tetapi beliau menghapus teolgi Mu’tazilah yang terkandung dalam Tafsīr
al-Kassyāf. Dari Tafsīr Al-Kassyāf beliau mengutip tentang segi
kebahasaan yaitu dari segi I’rab dan balagah. Sedangkan dalam Tafsīr al-Baiḍāwy
beliau mengutip segi pemahaman makna-makna yang mendalam, nasihat-nasihat,
dan pembahasanya yang fokus.
Metode penafsiran yang
ditempuh oleh al-Nasafī dalam penjabaran makna ayat menggunakan metode ijmali
dan dalam sistematika penyajiannya beliau menggunakan penyajian runtut sesuai
urutan mushaf al-Qur`an. Tafsir ini sendiri tergolong kedalam Tafsīr bi
al-Ma`thur Mahmūd. Tetapi tidak menuntut kemungkinan beliau menggunakn
Hadis Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam, meskipun kadarnya hanya
sedikit.
Dalam masalah cerita isra’iliyat beliau sedikit sekali
menyebutkan dalam tafsirnya, dan ini yang menjadikan nilai plus. Ketika menyebutkannya
beliau terkadang tidak berkomentar dan terkadang beliau mengungkapkan ketidak
setujuannya. Selain itu al-Nasafī juga tidak menyebutkan Hadis-Hadis palsu yang
berhubungan dengan keutamaan surah-surah al-Qur`an.
Daftar
Pustaka
Al-Qur`an.
Dhahabī (al), Muhammad Husain, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo:
Maktabat Wahbah, tth.
Mahmūd, Manī ' Abdul al-Halīm, Manahijul al-Mufassirin. Kairo:Dār al-Kutub Misri, 1978.
Mughniyah
(al), Muhammad Jawād, FIQIH Lima Mazhab, terj, Masykur
A.B, dkk. Jakarta:PT. LENTERA BASRITAMA, 2004.
Nasafī (al), Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd, Madārik at-Tanzīl wa
Haqā’iq at-Ta’wīl. Bayrūt:Dār al-Nafāis,
2005.
Shahrasatāny (al), Muhammad bin ‘Abdul karīm bin Aby Bakar
Ahmad, Al Milal Wal Al Nihal.
Bayrūt, Dār al-Ma’rifat, 1404.
[1]
Kota yang terletak di Ubekistan. Di Samarkand terdapat sejumlah ulama terkenal
seperti Muhammad Addi As-Samarkandi, Abu Manshur Maturidi, Abul Hasan Maidani,
Ahmad ibn Umar, Abu Bakr As-Samarkandi, Muhammad ibn Mas`ud As-Samarkandi
(penyusun Tafsir Al-Iyasyi), Alauddin As-Samarkandi, Najibuddin As-Samarkandi,
Abul Qasim Al-Laitsi As-Samarkandi dan Qadi Zadah Ar-Rumi.
[4]
Ibid.,215.
[5] Ibid., 216.
[6] Ibid., 217.
[7]
Ibid., 217.
[8]
Muhammad bin ‘Abdul karīm bin Abī Bakar Ahmad al Shahrasatāny, Al Milal Wal Al Nihal,(Bayrūt,
Dār al-Ma’rifat,1404) 1:93
[9] (Al Qiyamah : 22-23)
[10]
Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī, Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl,(Bayrūt:Dār al-Nafāis,2005) 4:245.
[11] Ibid.,
1:1.
[12] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, FIQIH Lima
Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk,(Jakarta:PT. LENTERA
BASRITAMA, 2004) 23
[13]
An-Nasafy, Madārik at-Tanzīl, 1:251.
[14] Al-Mughniyah,Lima Mazhab, terj,
Masykur A.B, dkk, 23
[16] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,(Kairo:
Maktabat Wahbah, tt) 1:219
[17]
Al-Sād:38:21-22
[18] al-Dhahabī, al-Tafsīr, 1:220
0 komentar:
Posting Komentar