kajian Tafsir Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl

on Sabtu, 03 Januari 2015


I.     Pendahuluan

Setelah sekian banyak kita membahas tentang kitab kitab Tafsir mulai dari zaman Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan karyanya yang terkenal Jami’ al-Bayan fi Tafsīr al-Qur`an yang terkenal dengan Tafsir bil Ma`thurnya. Tafsīr al-Thabari ini merupakan tafsir tertua, karena sebelum al-Thabari tidak ditemukan kitab tafsir lain dan bisa dikatakan bahwa al-Thabari orang pertama yang melakukukan pembukuan tafsir. Setelah al-Thabari munculah berbagai macam  kitab-kitab tafsir dengan corak dan karakter yang berbeda-beda. Ada yang bercorak fiqih seperti tafsir al-Jashshash karya Abu Bakar Ahmad bin Ar-Rāzi, Mafātīh al-Ghaib karya Fakhrūddin al-Rāzi yang bercorak Ilmi, dan masih banyak lagi kitab tafsir yang pastinya memiliki corak yang khas.
Pada makalah ini kami ingin membahas tentang sebuah kitab tafsir yang  terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Nasafī atau yang bernama lengkap Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. mungkin sekilas masing asing di telinga kita dan banyak orang yang belum mengetahui tentang tafsir ini. Atas dasar itulah kami tergerak ingin sedikit mengkupas tentang Tafsīr al-Nasafī  mulai dari biografi, metode, penafsiran dan semua hal yang ada dalam kitab ini. Dengan tujuan agar menambah wawasan kajian tentang kita-kitab tafsir yang ada. sekaligus mengatahui perkembangan penafsiran pada waktu itu.

II.       Mengupas Tafsīr an-Nasafī

A.    Biografi al-Nasafī

Penulis kitab ini adalah Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī al-Hanafī, atau yang lebih di kenal dengan al-Nasafī. Beliau lahir di Nasaf, kota sind yang terletak di antara Jihun dan Samarqand.[1] Beliau adalah ahli tafsir terkenal  dari golongan ulama  Hanafiah, beliau juga  menguasai  berbagai macam disiplin keilmuan diantaranya  fiqih, ushul fiqih, akidah dan tafsir.[2] Sebab Beliau lahir dari kalangan ulama ahli fiqih, ushul fiqih, akidah dan tafsir, sehingga beliau mempunyai peluang dalam membentuk dan mencari potensi yang beliau miliki, oleh karena itulah beliau berhasil merangkum berbagai metodologi penelitian yang ada. Dengan menggunakan rasionalitas ulama kalam, dialektika ahli ushul dan konklusi ahli fiqih. Bedanya, al-Nasafī mempunyai karakter metodologi yang independen dalam karya-karyanya. Dan di samping itu juga beliau kadang mendapatkan pengetahuan ada guru-gurunya seperti ; Syams al-‘Aimmah al-Kurdī, Ahmad bin Muhammad al-‘itabī, dll.[3]
Karena ketekunannya, beliau berhasil mengarang beberapa kitab di antaranya : “Umdah al-Aqāid fī al-kalām,, Syarh Umdah al-Aqāid wa Samāh al-I’timad, Manār al-Anwar Fī ushūl al-Fiqih, al-Kafī fī Syarh al-Wāfī fī al-Fiqh al-Hanafī, Dan Kanz Al-daqāiq Fī fiqih Hanafī. Sebagian besar karyanya telah diterbitkan hingga beliau dikenal sebagai ahli tafsir, faqih, Ahli teologi dan ushul fiqh.[4]
Imam Al-Nasafī tidak begitu berbeda dengan ulama’ kebanyakan, sosoknya yang zuhud, saleh dan taqwa, di samping itu aktif dalam kegiatan ilmiah, pengkajian dan penelitian, beliau merupakan seorang ahli yang terkenal di masanya dan masa sesudahnya.[5]
Imam An-Nasaī wafat pada tahun 701 H di kota ‘Aidzaj yang terletak di antara Khuzistan dan Asfahan.
B.     Metode PenyajianTafsīr al-Nasafī

Imam Al-nasafī menamakan tafsirnya dengan Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. Tafsir ini termasuk sebagian dari kitab yang dikategorikan sebagai kitab tafsir ilmiah yang cermat, tidak berbelit hingga membosankan dan tidak terlalu ringkas hingga memiliki banyak kekurangan.
 Imam an-Nasafī menjelaskan dalam muqaddimah kitabnya tentang latar belakang penulisan kitab tafsirnya "Saya telah diminta oleh seseorang yang harus dipenuhi permintaannya agar menulis kitab tafsir yang menghimpun berbagai i'rab dan qira'at, ilmu badi, isyarat yang detail yang sarat dengan pandangan ahlusunnah dan terbebas dari kebatilan ahli bid'ah dan kesesatan.[6]
Tafsir ini merupakan kutipan dari Tafsīr Al-Kassyāf dan Tafsīr Al-Baiḍāwy,  dalam segi kebahasaan beliau mengutibnya dari Tafsīr Al-Kassyāf yaitu dalam segi I'rab dan balagah meliputi segi badhi'nya dan ma'aninya.  Akan tetapi, beliau tidak mengikuti apa yang ada dalam Tafsīr al-Kassyāf secara keseluruhan melainkan beliau menghapuskan teologi mu’tazilahnya.  Beliau juga melakuakan kritik terhadap penafsiran al-Zamkhasharī dengan berkata (فإن قيل ....قلت). Penafsiran beliau cenderung pada pemikiran ulama ahlu sunnah, dengan begitu beliau  mempunyai sikap yang tegas dan jelas terhadap setiap penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an, Khususnya terhadap Tafsīr al-kassyāf. dirinya tidak hanya mengkritis pemikiran mu’tazilah dalam Tafsīr al-kassyāf, namun juga seluruh buku-buku teologis karya al-Zamkhasharī. Sedangkan dari kitab Tafsīr Al-Baiḍāwy lebih cenderung mengambil makna-makna mendalam, pemahamannya, wejangan-wejangannya, dan pembahasannya yang fokus.[7]
Adapun contoh sebagai bukti dari ungkapan di atas adalah :
Menurut pendapat Al-Asy'arī "segala yang dapat dilihat dan menyebabkan dapat dilihat dari sisi keberadaannya.” Dalam Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ di jelaskan bahwa setiap orang yang beriman dapat melihat Zat Allah Subhânahu wa Ta’âlâ pada hari kiamat.[8] Sebagaimana Firman Allah Ṣubḥānahu wa Ta’ālā   :

وُجُوهٌ  يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ . إلى رَبّهَا نَاظِرَةٌ .
Artinya :"Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri, kepada tuhan mereka melihat."[9]
Tafsir Imam al-Nasafy pada ayat di atas sebagai berikut:
}وُجُوهٌ } هي وجوه المؤمنين } يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ } حسنة ناعمة { إلى رَبّهَا نَاظِرَةٌ } بلا كيفية ولا جهة ولا ثبوت مسافة . وحمل النظر على الانتظار لأمر ربها أو لثوابه لا يصح لأنه يقال : نظرت فيه أي تفكرت ، ونظرته انتظرته ، ولا يعدى ب «إلى» إلا بمعنى الرؤية مع أنه لا يليق الانتظار في دار القرار { وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ } كالحة شديدة العبوسة وهي وجوه الكفار.[10]
Dalam penafsiran ayat di atas Beliau mengadopsi kedalaman makna, pemahaman yang rasional, pengarahan yang tepat dan kelugasan yang fokus yang di kutip  dalam Tafsīr al-Baiḍāwy, di samping itu beliau juga menyanggah pendapat al-Zamkhasharī dengan memaparkan pendapatnya, akan tetapi Imam al-Nasafi tidak terbelenggu dalam fanatisme aliran mu’tazilah seperti  yang dilakukan al-Zamkhasharī dalam Al-kassyāf. Imam al-Nasafi justru bersebrangan dengan al-Zamakhayarī  Dirinya membantah setiap pendapat mu’tazilah yang menyalahi al-Asy’arī  dengan menggunakan metode al-Zamkhasharī.
Beliau dalam menafsirkan al-Qur’an, dalam masalah penjabaran makna mengunakan metode ijmali yaitu suatu metode penafsiran ayat-ayat al-Qur`an, di mana penjelasan yang dilakukan cukup singkat dan global. Kemudian dalam sistematika penyajianya beliau menggunakan metode penyajian runtut (tahlili) yaitu suatu model penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf al-Qur`an atau mengacu pada urutan turunya wahyu.
Tafsīr al-Nasafī tergolong dalam Tafsīr bil Ra’yi Mahmud, karena kebanyakan dari penjelasan beliau mengunakan Ra’yu.  Meskipun begitu beliau kadang dalam penafsiranya juga mengunakan Hadis Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam. Meski kadar Ma’thur dalam tafsir  tersebut hanyalah sedikit.
Beliau merupakan ulama’ yang bermazhab Hanafiah.[11] Hal ini dapat dibuktikan dengan pendapat Imam al-Nasafī dalam menafsirkan ayat وامسحوا بِرُؤُوسِكُم “ : “Imam hanafi mewajibkan membasahi seperempat kepala, atau cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepala.[12] Begitu pula dalam kitab an-Nasafi sebagai berikut :
(وامسحوا بِرُؤُوسِكُمْ)  المراد إلصاق المسح بالرأس ، ومسح بعضه ومستوعبه بالمسح كلاهما ملصق للمسح برأسه
“yang dimaksud dengan membasuh kepala yaitu membasahi seluruh rambut di kepala, sebagian ataukah secara keseluruhan semua kepala dibasahi”.[13]
Sedangkan Imam-Imam yang lain seperti Imam Syafi’i, bahwa yang dimaksud ” وامسحوا بِرُؤُوسِكُم adalah wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai penganti dari mengusap. Lain lagi dengan Imam Malik dan Imam Hambali. Imam Malik mewajibkan mengusap semua kepala tanpa telinga, sedangkan Imam Hambali mewajibkan mengusap semua kepala dan kedua telinga.[14]

C.    Isra’iliyat Dalam Tafsīr al-Nasafi

Dalam masalah isra’iliyat beliau sangat sedikit sekali menyebutkan dalam tafsirnya, sehingga ini menjadi nilai positif dalam bagi Tafsīr al-Nasafī. beliau berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyentuhnya.[15] Selain itu Terbukti pula al-Nasafī  tidak menyebutkan Hadis-Hadis palsu yang berhubungan dengan keutamaan surah-surah dalam al-Qur’an. Ini di buktikan dengan pernyataan Dr. Muhammad Husain al- al-Dhahabī  dalam kitab al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn beliau mengungkakan bahwa :

ومما نلحظه على هذا التفسير أنه مُقِل جداً فى ذكره للإسرائيليات، وما يذكره من ذلك يمر عليه بدون أن يتعقبه أحياناً، وأحياناً يتعقبه ولا يرتضيه.[16]
“Seperti apa yang kita perhatikan dari tafsir ini, bahwasanya dia menyedikitkan dalam penyebutan isra’iliyat. dan dalam penyebutannya kadang-kadang beliau menyantumkannya, kadang-kadang mengomentarinya.”
Dalam pernyataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ketita Dalam menyebutkan isra’iliyat terkadang beliau tidak memberi komentar dan terkadang beliau mengungkapkan ketidak setujuannya. Beberapa contoh penafsiran yang di tuliskan oleh Dr. Muhammad Husain al-Dhahabī dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn di antaranya:
وَهَلْ أَتَىٰكَ نَبَؤُا ٱلْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا ٱلْمِحْرَابَ ﴿٢١ إِذْ دَخَلُوا عَلَىٰ دَاوُۥدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَا إِلَىٰ سَوَاءِ ٱلصِّرَٰطِ ﴿٢٢
" Dan apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab? ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, "Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus."[17]
Dr. Muhammad Husain al-Dhahabī menulis bahwa setelah menyebutkan riwayat yang tidak bertentangan dengan kemaksuman Nabi Ḍāwud, Al-Nasafī berkata,"Hikayat bahwa dia (Sulaiman) mengutus Auria kedua kalinya ke peperangan Balqa agar dia (Auria) terbunuh supaya istrinya (Auria) dinikahi olehnya (Sulaiman), kisah tersebut sangat kontradiksi dengan orang yang memiliki sifat kesalihan, terlebih lagi para Nabi”. ‘Ali bin Abi Thalib berkata," Barangsiapa bercerita kepadamu satu hadits tentang Ḍāwud seperti yang diceritakan oleh para ahli kisah dan tukang cerita, hendaklah kamu mencambuknya 160 kali. Karena ia melakukan kebohongan tentang Nabi..."
Adapun contoh lain  Ketika beliau menafsirkan surat Saad ayat 34:
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَٰنَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِۦ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ ﴿٣٤
" Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat. ", beliau menyebutkan sejumlah riwayat yang tidak kontradiksi dengan kemaksuman sulaiman ‘Alayhi al-Salām. Kemudian al-Nasafī berkata, "Adapun tentang riwayat tentang cincin dan setan serta penyembahan setan di rumah Sulaiman ‘Alayhi al-Salām, merupakan riwayat batil dari orang-orang Yahudi."[18]
Dari kisah-kisah di atas dapat kita ambil kesimpulan bagaimana sikap al-Nasafī  terhadap kisah isra’iliyat. beliau melakukan kritik tentang kisah isra’iliyat tersebut dengan mengungkapkan ketidaksetujuannya melalui cara menyebutkan riwayat-riwayat yang tidak bertentangan dengan kebenaran orang atau kaum yang diceritakan kemudian setelah itu menyebutkan kisah yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Seperti halnya kisah tentang nabi Daud ‘Alayhi al-Salām di atas, di katakana bahwa nabi Dawūd menyuruh Auria untuk berperang agar dia terbunuh sehingga beliau dapat menikahi istrinya. Jika kita telahah lebih dalam tidak mungkin seorang Nabi berlaku seperti itu, karena bagaimanpun Nabi adalah seseorang yang maksum yang pasti akan selalu  dijaga oleh Allah Ṣubḥānahu wa Ta’ālā .

III.             Kesimpulan

Tafsīr al-Nasafī atau yang lebih terkenal dengan Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl ditulis oleh Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī al-Hanafī. Beliau lahir di Nafas, kota Sind yang terletak diantar Jihun dan Samarqand.  wafat pada tahun 701 H di kota ‘Aidzaj yang terletak di Khuziztan dan asfahan. beliau merupakan ulama’ yang bermazhab Hanafī. Tafsir al-Nasafī merupakan kutipan  dari Tafsīr al-Kassyāf dan Tafsīr al-Baiḍāwy. Akan tetapi beliau menghapus teolgi Mu’tazilah yang terkandung dalam Tafsīr al-Kassyāf. Dari Tafsīr Al-Kassyāf beliau mengutip tentang segi kebahasaan yaitu dari segi I’rab dan balagah. Sedangkan dalam Tafsīr al-Baiḍāwy beliau mengutip segi pemahaman makna-makna yang mendalam, nasihat-nasihat, dan pembahasanya yang fokus.
Metode penafsiran yang  ditempuh oleh al-Nasafī dalam penjabaran makna ayat menggunakan metode ijmali dan dalam sistematika penyajiannya beliau menggunakan penyajian runtut sesuai urutan mushaf al-Qur`an. Tafsir ini sendiri tergolong kedalam Tafsīr bi al-Ma`thur Mahmūd. Tetapi tidak menuntut kemungkinan beliau menggunakn Hadis Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam, meskipun kadarnya hanya sedikit.
Dalam masalah cerita isra’iliyat beliau sedikit sekali menyebutkan dalam tafsirnya, dan ini yang menjadikan nilai plus. Ketika menyebutkannya beliau terkadang tidak berkomentar dan terkadang beliau mengungkapkan ketidak setujuannya. Selain itu al-Nasafī juga tidak menyebutkan Hadis-Hadis palsu yang berhubungan dengan keutamaan surah-surah al-Qur`an.

Daftar Pustaka

Al-Qur`an.
Dhahabī (al), Muhammad Husain, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabat Wahbah, tth.
Mahmūd, Manī ' Abdul  al-Halīm, Manahijul al-Mufassirin. Kairo:Dār al-Kutub Misri, 1978.
Mughniyah (al), Muhammad Jawād, FIQIH Lima Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk. Jakarta:PT. LENTERA BASRITAMA, 2004.
Nasafī (al), Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd, Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. Bayrūt:Dār al-Nafāis, 2005.
Shahrasatāny (al), Muhammad bin ‘Abdul karīm bin Aby Bakar Ahmad, Al Milal Wal Al Nihal. Bayrūt, Dār al-Ma’rifat, 1404.


[1] Kota yang terletak di Ubekistan. Di Samarkand terdapat sejumlah ulama terkenal seperti Muhammad Addi As-Samarkandi, Abu Manshur Maturidi, Abul Hasan Maidani, Ahmad ibn Umar, Abu Bakr As-Samarkandi, Muhammad ibn Mas`ud As-Samarkandi (penyusun Tafsir Al-Iyasyi), Alauddin As-Samarkandi, Najibuddin As-Samarkandi, Abul Qasim Al-Laitsi As-Samarkandi dan Qadi Zadah Ar-Rumi.
[2] Manī ' Abdul  al-Halīm Mahmūd,, Manahijul al-Mufassirin, (Kairo:Darul Kutubul Misri,1978) 215.
[3] Ibid., 215.
[4] Ibid.,215.
[5] Ibid., 216.
[6] Ibid., 217.
[7] Ibid., 217.
[8] Muhammad bin ‘Abdul karīm bin Abī Bakar Ahmad al Shahrasatāny, Al Milal Wal Al Nihal,(Bayrūt, Dār al-Ma’rifat,1404)  1:93
[9] (Al Qiyamah : 22-23)
[10] Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī, Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl,(Bayrūt:Dār al-Nafāis,2005) 4:245.
[11] Ibid., 1:1.
[12] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, FIQIH Lima Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk,(Jakarta:PT. LENTERA BASRITAMA, 2004) 23
[13] An-Nasafy, Madārik at-Tanzīl, 1:251.
[14]  Al-Mughniyah,Lima Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk, 23
[15] Mahmūd, Manahijul, 218
[16] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,(Kairo: Maktabat Wahbah, tt) 1:219
[17] Al-Sād:38:21-22
[18] al-Dhahabī, al-Tafsīr, 1:220

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman