Perbedaan Nabi dan Sahabat Dalam
Penafsiran
Oleh: Alawy al-Syihāb
I.
Pendahuluan
Sebuah Sunatullah ketika Allah
mengutus setiap Rasul dan Nabinya untuk menyampaikan Syari’atnya sesuai dengan
bahasa kaumnya. Demikian al-Qur`an, Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dengan mengunakan bahasa Arab, sesuai dengan
komunitas masyarakat yang berbahasa Arab. Hal ini disampaikan sendiri oleh
Allah, dalam Firmanya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul
pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada
mereka.”[1](QS.
Ibrahim:14:4)
Dalam perkembangannya terjadi
perselisihan antar ulama’ mengenai apakah al-Qur`an murni mengunakan bahasa Arab
atau juga terselip bahasa asing yang telah diadobsi oleh orang Arab sebagai
bahasa Arab yang terdapat dalam al-Qur`an. meskipun begitu, perbedaan pendapat
tersebut tidak mengurangi nilai al-Qur`an sebagai kitab suci yang berbahasa
Arab.[2]
Meskipun diturunkan mengunakan bahasa
Arab, al-Qur`an tidak serta merta dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh
semua kalangan sahabat. Hal ini membuktikan bahwa sebuah tulisan atau perkataan
walaupun diciptakan sesuai dengan Bahasa orang yang mendengar atau membacanya,
tidak menuntut kemungkinan semua orang yang mendengar dan membacanya mampu
menangkap makna yang dikehendaki dari perkataan atau tulisan tersebut. Hal ini
disebabkan daya tangkap atau daya nalar maupun pengetahuan terhadap kosa kata
yang berbeda antar tiap-tiap individunya.[3]
Dalam tulisan ini penulis ingin
sedikit membahas tentang bagaimana cara nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam
dan sahabat dalam memaknai ayat al-Qur`an, serta mengungkapkan berbagai metode
yang mereka tempuh dalam mengugkapkan makna yang dikehendaki dari suatu ayat.
II. Tahapan-Tahapan
dalam Perkembangan Penafsiran
A.
Tafsir Masa Rasulullah dan Sahabat
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
al-Qur`an diturunkan mengunakan bahasa Arab. para sahabat pun dapat memahami
al-Qur`an, karena al-Qur`an diturunkan dalam bahasa meraka. Akan tetapi, daya
pemahaman mereka pada suatu ayat itu berbeda-beda. Sehingga, apa yang diketahui
oleh seseorang di antara mereka belum tentu juga diketahui oleh yang lain.
Kemudian, ketika terjadi ketidak
tahuan sahabat dengan makna suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. Sebagai seorang utusan tentulah
wajar jika nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menjelaskan dan
menyampaikan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah dalam al-Qur`an. seperti
halnya yang Allah firmankan dalam al-Qur`an
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan Aẓ-Żikr
(Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan,”[4]
(QS. al-Nahl:16:44)
Akan tetapi, tidak semua ayat-ayat
al-Qur`an itu dijelaskan oleh nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam.
beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui
oelh para sahabat (karena hanya beliaulah yang dianugrahi oleh Allah tentang
tafsirnya) dan beliau sendiri memamng diperintahkan oleh Allah untuk
menjelaskan kepada para sahabat. Contohnya ayat-ayat yang memang sukar difaham
dan hanya dimengerti oleh orang yang cerdas dan pandai. Sedangkan untuk
ayat-ayat yang bisa difahami dari segi aspek kebahasaan dan ayat-ayat yang
memang mudah dinalar tidak ditafsiri oleh nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam
.[5]
Ulama’ sendiri mengalamai
perselisihan apakan nabi Muhammad menafsir semua ayat al-Qur`an atau tidak.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir mengatkan
bahwa nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menjelaskan semua
makna-makna yeng terkandung dalam al-Qur`an kepada para sahabat. sedangkan Imam
al-Suyuti yang mengutip pendapat al-Khuwayi bahwa nabi Muhammad Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Ṣallam hanya sedikit sekali menjelaskan makna-makna al-Qur`an.[6]
1.
Metode Penafsiran Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an
nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam tidak mengunakan bahasa yang
bertele-tele dan panjang lebar. Beliau hanya menjelaskan hal-hal yang
masih samar dan globa, merinci suatu ayat yang masih umum dam menjelaskan lafad
dan hal-hal yang masih berkaitan dengannya.
Adapun
cara yang ditempun nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dalam
menafsirkan al-Qur`an, selalu berdasarkan pada sebuah ilham dari Allah. Terkadang
menafsirkannya ayat al-Qur’an yang lain, ataupun berdasarkan pada ijtihad
beliau sendiri. Akan tetapi, semuanya kembali pada petunjuk Allah. Seperti
ketika nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menafsiri lafad كَلِمَٰتٍ dalam ayat:
فَتَلَقَّىٰ أدَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu
Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”[7]
(QS. al-Baqarah:2:37)
Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi
wa Ṣallam menafsiri ayat diatas dengan ayat:[8]
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi
diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi."[9]
(QS. al-A`raf:7:23)
Dari sini jelaslah bahwa kaliamat yang diterima oleh Adam
supaya Allah menerima taubatnya adalah surat al-A`raf ayat 23.
Selain
bertanya kepada nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam kadang pada
sahabat juga melakukan ijtihad sendiri dalam menafsiri ayat al-Qur`an. akan
tetapi, ijtihad ini tidak dilakukan kapan saja dan apa ayat apa saja. Ijtihad
ini mereka lakukan sebab tidak bisa bertemu langsung nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam guna menanyakan arti ayat tersebut. Hal ini hanya
terbatas pada ayat yang memang mempunyai peluang ijtihad. Perbedaan daya nalar,
pengetahuan kosa kata bahasa Arab, sejarah, sebab-sebab turunnya ayat, ilmu
syar’at, dan intensitas kehadiran sahabat dalam majlis nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam sangat berpengaruh dalam penafsiran.[10]
B.
Tafsir Pada Masa Sahabat (setelah
wafatnya Rasulullah)
Telah dijelaskan bahwa ketika terjadi
ketidak jelasan pada makna ayat al-Qur`an para sahabat langsung bertanya pada
nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. Akan tetapi, stelah nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam wafat para sahabat mengalami
kemelut jiwa dalam mencari makna yang dikehendaki oleh suatu ayat al-Qur`an. sejak
saat itu pula muncul tafsir-tafsir dari kalangan para sahabat. Adapun sahabat
yang terkenal sebagai ahli tafsir diantaranya: al-Khulafa’ al-Arba’ah,
‘Abdullāh bin Masūd (w. 32 H), ‘Abdullāh bin ‘Abbās (w. 68 H), Ubay bin Ka’ab
(w. 33 H), Zaid bin Thābit (w. 48 H), Abū Mūsa al-Asy’arī (w. 52 H), ‘Abudullāh
bin Zubair (w. 73 H).[11]
selain kesepuluh sahabat di atas masih ada lagi sahabat yang melakukan tafsir
akan tetapi kadar penafsiranya sedikit.
Ketika
wilayah kekuasaan Islam mulai meluas banyak para sahabat yang menyebarkan
kebarbagai wilayah dan mengajarkan tafsir ditempat yang mereka singgahi.
Terdapat beberapa pusat studi tafsir yang berkembang pada masa itu.
Diantaranya:
- Di Makkah berdiri perguruan Ibnu Abbās yang penafsirannya bercorak periwayatan.
- Di Madinah berdiri Ubay bin Ka’ab
- Di Kuffah berdiri perguruan Ibnu Masūd meskipun beliau bukan satu-satunya yang meriwayatkan tafsir di Kuffah, akan tetapi beliau yang paling banyak meriwayatkan tafsir dibandingkan yang lain.
- Metode Penafsiran Sahabat
kita telah mengetahui bagaiman cara ( metode) nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dalam menafsirka al-Qur`an, dan itu tidak jauh
berbeda dengan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur`an. Para sahabat ketika
ingin menafsiri al-Qur`an mereka berpegang kepada:
- Al-Qur`an al-Karīm
Dengan alasan apa yang
dikemukakan secara global disatu temapat (ayat) , kadang dijelaskan secara
terperinci di tempat (ayat) yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam
bentuk mutlaq atau umum kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi
atau mengkhususkannya.
- Sunah Nabi Muhammad
Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam adalah pemberi penjelasan (penafsir) al-Qur`an yang
paling otiritatif (berwenang). Kemudian semua prilaku dan ucapan nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Ṣallam sesuai dengan al-Qur`an, dan kita mengetahui bahwa
al-Qur`an dan sunah itu saling berkaitan. Maka, tidak salah bila para sahabat
mengunakan sunah sebagai alat menafsiri al-Qur`an.
Contoh penafsiran atas
kalimat ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَر
dalam ayat:
وَأَذَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوْمَ ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَر
“Dan satu maklumat
(pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji
akbar,”[12]
(QS. al-Taubah:9:3)
Kemudian dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
al-Turmudhi disebutkan:
عن
علي قل : سألت رسول الله عن (يوم الحجّ الأكبر) فقال : يوم النّحر
“ Dari ‘Ali Ra beliau berkata: saya pernah berkata pada
Rasulullah tentang ayat (يوم الحجّ الأكبر) kemudian beliau menjawab (Hari tersebut adalah) Hari raya
Nahr. [13]
- Pemahaman dan Ijtihad
Mengingat bahwa para
sahabat adalah orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan
baik serta mengetahui aspek-aspek ke-balagahan yang ada didalamnya. Dalam
berijtihad sendiri para sahabat telah memiliki modal untuk meraka gunakan dalam
melakukan ijtihad. Diantaranya:[14]
1.
Pengatahuan yang memadahi tentang kosa kata, gramatika
dan sastra bahasa Arab. Hal ini sangat berguna ketika memahami suatu ayat dalam
segi kebahasaan.
2.
Pengetahuan akan adat istiadat dan moral bangsa Arab,
yang bisa membantu dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
kebiasaan dan ahlak mereka.
3.
Pengetahuan tentang tingkah laku dan keadaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunya ayat
al-Qur`an.
4.
Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul
Hal ini sangat berpengaruh dalam
penafsiran ayat. Sebab pengatuan akan suatu sebab bisa menimbulkan pengetahuan
akan sebabnya.
5.
Kemampuan penalaran dan daya tangkap.
- Cerita Isra’iliyat
Pada jenjang selanjutnya para sahabat
terkadang menyandarkan penafsiran terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani (ahli
kitab). Cara ini mereka tempuh ketika mereka sudah tidak menemukan apa-apa
dalam al-Qur`an dan Hadis. Dalam perujukan kepada ahli kitab, sahabat hanya
menayakan ayat-ayat yang masih ada kaitanya dengan kitab Taurat dan Injil. Seperti
ayat-ayat yang berisi cerita-cerita Nabi dan umat-umat terdahulu. Yang mana di
dalam al-Qur`an dan Hadis tidak dijelskan secara rinci. Kendati demikian,
sahabat tidak terlalu banyak merujuk dari ahali kitab, mereka memilah-milah apa
yang mereka dapatkan dari ahli kitab. Apakah itu sesuai dengan akidah dan
syari’at Islam atau tidak. Rujukan ini dilakukan hanya untuk mengambil aspek
nasehat dan pelajaran yang ada di dalam saja atau tidak lebih.[15]
- Ciri Tafsir Sahabat
Tafsir sahabat
mempunyai ciri-ciri tersendiri sehingga menjadikan berbeda dengan tafsir-tafsir
yang lain. Beberapa cirri tersebut
diantaranya:
a.
Mereka tidak menafsiri semua ayat al-Qur`an, yang
mereka tafsiri hanya sebats ayat-ayat yang masih samar, tidak jelas dan sulit
difaham.
b.
Perbedaan dalam pemahaman makna diantara mereka
relative sedikit.
c.
Mereka mayoritas merasa cukup atas makna-makna yang
global dan tidak terlalu mendalami makna secara terperinci.
d.
Mereka membatasi dan mencukupkan diri dengan penjelasan
makna bahasa yang mereka fahami dengan bahasa yang lebih ringkas.
e.
Sedikit sekali penalaran ilmiah yang mereka lakukan
dalam masalah hukum-hukum fikih dan tidak ada kefanatikan terhadap
madzhab-madzhab agama.
f.
Tafsir pada masa ini belum samapai taraf pembukuan
g.
Tafsir baru berbentuk riwayah seperti halnya Hadis.[16]
III.
Kesimpulan
Adapun cara yang ditempuh oleh nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dan sahabat dalam menafsiri
al-Qur`an mempunyai kesamaan. Hanya saja ketika tafsir itu berasal dari nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam, maka tidak bisa dipertanyakan
lagi kevalidan tafsir tersebut. Karena memang tafsir dari Nabi tersebut
bersumber dari ilham yang datang dari Allah.
Metode yang digunakan pun hampir
sama. Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam ketika menafsiri
al-Qur`an mengunakan ayat al-Qur`an yang lain. Terkadang jika Nabi tidak
menemukan ayat al-Qur’an beliau melakukan sebuah ijtihad. Akan tetapi, ijtihad
yang beliau lakukan sesuai dengan petunjuk Allah.
Adapun ketika pada masa sahabat
mereka juga melakukan tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an, dan juga mereka melakukan ijtihad . Akan tetapi, ijtihad yang
mereka lampaui dengan cara mengidentifikasi kosa kata bahasa Arab, dan
balagahnya. Adapaun cara lain yang mereka tempuh adalah dengan menafsiri
mengunakan Hadis nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. terkadang
pula mereka menafsiri berdasarkan cerita isra’iliyat, yang sesuai dengan akidah
dan syari’at Islam.
Daftar Pustaka
Al-Qur`an.
Dhahabī (al), Muhammad Husain, al-Isra’iliyat
fi Tafsīr wa al-Hadis. Kairo: Maktabah Wahbah,1990.
Dhahabī (al),Muhammad Husain, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo:
Maktabat Wahbah, 2003.
Kathir , Abū Fidā’ Ismā’īl bin ‘Umar bin, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aḍim.
ttp: Dār Thaibah li Nusur wa al-Tauzil,1999.
Rūmī (al) , Fahd bin ‘Abdurrahmān bin Sulaīman, Bahūth fi Ushul
al-Tafsīr wa Manāhijuhu. Riyād: Maktabah al-Taubah,1996.
Suyūtī (al), ‘Abdurrahman bin Abū Bakar Jalāluddīn,al-Itqan fi ‘Ulūm
al-Qur`an. Bierut:Dār al-Fikr, 1979
Turmudzī (al) , Muhammad Abū ‘Isyā, Sunan al-Turmudzī. Beirut:Dār
Ihyā’ al-Turāth al-‘Arābī, tth
[1]
Ibrahim:14:4
[2]
Mana’ Khalil al-Qaththan, Mabahith fi ‘Ulumil al-Qur`an, ( Madinah: Muaqi’
maktabah al-Madaniah al-Ruqumiah,2000) 334
[3]
Ahamad amīn, Fajr al-Islām,(Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004) 191
[4]
al-Nahl:16:44
[5] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,(Kairo:
Maktabat Wahbah, 2003) 1:39
[6]
‘Abdurrahman bin Abū Bakar Jalāluddīn al-Suyūtī ,al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur`an,(
Bierut:Dār al-Fikr, 1979) 174
[7]
al-Baqarah:2:37
[8] Abū
Fidā’ Ismā’īl bin ‘Umar bin Kathir, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aḍim, (ttp: Dār
Thaibah li Nusur wa al-Tauzil,1999) 1:238
[9]
al-A`raf:7:23
[10]
Fahd bin ‘Abdurrahmān bin Sulaīman al-Rūmī, Bahūth fi Ushul al-Tafsīr wa
Manāhijuhu, (Riyād: Maktabah al-Taubah,1996) 20
[11] al-Suyūtī
,al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur`an ,187
[12]
al-Taubah:9:3
[13]
Muhammad Abū ‘Isyā al-Turmudzī, Sunan al-Turmudzī, (Beirut:Dār Ihyā’
al-Turāth al-‘Arābī, tth) 291
[14] al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,1:45
[15] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Isra’iliyat fi Tafsir wa
al-Hadis, (Kairo: Maktabah Wahbah,1990) 17
[16] al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn ,73
0 komentar:
Posting Komentar