Sejarah perkembangan Tafsir

on Sabtu, 03 Januari 2015


Perbedaan Nabi dan Sahabat Dalam Penafsiran
Oleh: Alawy al-Syihāb
I.     Pendahuluan
Sebuah Sunatullah ketika Allah mengutus setiap Rasul dan Nabinya untuk menyampaikan Syari’atnya sesuai dengan bahasa kaumnya. Demikian al-Qur`an, Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dengan mengunakan bahasa Arab, sesuai dengan komunitas masyarakat yang berbahasa Arab. Hal ini disampaikan sendiri oleh Allah, dalam Firmanya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.”[1](QS. Ibrahim:14:4)
Dalam perkembangannya terjadi perselisihan antar ulama’ mengenai apakah al-Qur`an murni mengunakan bahasa Arab atau juga terselip bahasa asing yang telah diadobsi oleh orang Arab sebagai bahasa Arab yang terdapat dalam al-Qur`an. meskipun begitu, perbedaan pendapat tersebut tidak mengurangi nilai al-Qur`an sebagai kitab suci yang berbahasa Arab.[2]
Meskipun diturunkan mengunakan bahasa Arab, al-Qur`an tidak serta merta dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh semua kalangan sahabat. Hal ini membuktikan bahwa sebuah tulisan atau perkataan walaupun diciptakan sesuai dengan Bahasa orang yang mendengar atau membacanya, tidak menuntut kemungkinan semua orang yang mendengar dan membacanya mampu menangkap makna yang dikehendaki dari perkataan atau tulisan tersebut. Hal ini disebabkan daya tangkap atau daya nalar maupun pengetahuan terhadap kosa kata yang berbeda antar tiap-tiap individunya.[3]
Dalam tulisan ini penulis ingin sedikit membahas tentang bagaimana cara nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dan sahabat dalam memaknai ayat al-Qur`an, serta mengungkapkan berbagai metode yang mereka tempuh dalam mengugkapkan makna yang dikehendaki dari suatu ayat.


II.  Tahapan-Tahapan dalam Perkembangan Penafsiran
A.    Tafsir Masa Rasulullah dan Sahabat
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa al-Qur`an diturunkan mengunakan bahasa Arab. para sahabat pun dapat memahami al-Qur`an, karena al-Qur`an diturunkan dalam bahasa meraka. Akan tetapi, daya pemahaman mereka pada suatu ayat itu berbeda-beda. Sehingga, apa yang diketahui oleh seseorang di antara mereka belum tentu juga diketahui oleh yang lain.
Kemudian, ketika terjadi ketidak tahuan sahabat dengan makna suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. Sebagai seorang utusan tentulah wajar jika nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menjelaskan dan menyampaikan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah dalam al-Qur`an. seperti halnya yang Allah firmankan dalam al-Qur`an
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan Aẓ-Żikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan,”[4] (QS. al-Nahl:16:44)
Akan tetapi, tidak semua ayat-ayat al-Qur`an itu dijelaskan oleh nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oelh para sahabat (karena hanya beliaulah yang dianugrahi oleh Allah tentang tafsirnya) dan beliau sendiri memamng diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan kepada para sahabat. Contohnya ayat-ayat yang memang sukar difaham dan hanya dimengerti oleh orang yang cerdas dan pandai. Sedangkan untuk ayat-ayat yang bisa difahami dari segi aspek kebahasaan dan ayat-ayat yang memang mudah dinalar tidak ditafsiri oleh nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam .[5]
Ulama’ sendiri mengalamai perselisihan apakan nabi Muhammad menafsir semua ayat al-Qur`an atau tidak. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir mengatkan bahwa nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menjelaskan semua makna-makna yeng terkandung dalam al-Qur`an kepada para sahabat. sedangkan Imam al-Suyuti yang mengutip pendapat al-Khuwayi bahwa nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam hanya sedikit sekali menjelaskan makna-makna al-Qur`an.[6]
1.      Metode Penafsiran Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam tidak mengunakan bahasa yang bertele-tele dan panjang lebar. Beliau hanya menjelaskan hal-hal yang masih samar dan globa, merinci suatu ayat yang masih umum dam menjelaskan lafad dan hal-hal yang masih berkaitan dengannya.
      Adapun cara yang ditempun nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dalam menafsirkan al-Qur`an, selalu berdasarkan pada sebuah ilham dari Allah. Terkadang menafsirkannya ayat al-Qur’an yang lain, ataupun berdasarkan pada ijtihad beliau sendiri. Akan tetapi, semuanya kembali pada petunjuk Allah. Seperti ketika nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menafsiri lafad كَلِمَٰتٍ dalam ayat:
فَتَلَقَّىٰ أدَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”[7] (QS. al-Baqarah:2:37)
Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam menafsiri ayat diatas dengan ayat:[8]
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi."[9] (QS. al-A`raf:7:23)
Dari sini jelaslah bahwa kaliamat yang diterima oleh Adam supaya Allah menerima taubatnya adalah surat al-A`raf  ayat 23.
            Selain bertanya kepada nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam kadang pada sahabat juga melakukan ijtihad sendiri dalam menafsiri ayat al-Qur`an. akan tetapi, ijtihad ini tidak dilakukan kapan saja dan apa ayat apa saja. Ijtihad ini mereka lakukan sebab tidak bisa bertemu langsung nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam guna menanyakan arti ayat tersebut. Hal ini hanya terbatas pada ayat yang memang mempunyai peluang ijtihad. Perbedaan daya nalar, pengetahuan kosa kata bahasa Arab, sejarah, sebab-sebab turunnya ayat, ilmu syar’at, dan intensitas kehadiran sahabat dalam majlis nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam sangat berpengaruh dalam penafsiran.[10]
B.     Tafsir Pada Masa Sahabat (setelah wafatnya Rasulullah)
Telah dijelaskan bahwa ketika terjadi ketidak jelasan pada makna ayat al-Qur`an para sahabat langsung bertanya pada nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. Akan tetapi, stelah nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam wafat para sahabat mengalami kemelut jiwa dalam mencari makna yang dikehendaki oleh suatu ayat al-Qur`an. sejak saat itu pula muncul tafsir-tafsir dari kalangan para sahabat. Adapun sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir diantaranya: al-Khulafa’ al-Arba’ah, ‘Abdullāh bin Masūd (w. 32 H), ‘Abdullāh bin ‘Abbās (w. 68 H), Ubay bin Ka’ab (w. 33 H), Zaid bin Thābit (w. 48 H), Abū Mūsa al-Asy’arī (w. 52 H), ‘Abudullāh bin Zubair (w. 73 H).[11] selain kesepuluh sahabat di atas masih ada lagi sahabat yang melakukan tafsir akan tetapi kadar penafsiranya sedikit.
            Ketika wilayah kekuasaan Islam mulai meluas banyak para sahabat yang menyebarkan kebarbagai wilayah dan mengajarkan tafsir ditempat yang mereka singgahi. Terdapat beberapa pusat studi tafsir yang berkembang pada masa itu. Diantaranya:
  1. Di Makkah berdiri perguruan Ibnu Abbās yang penafsirannya bercorak periwayatan.
  2. Di Madinah berdiri Ubay bin Ka’ab
  3. Di Kuffah berdiri perguruan Ibnu Masūd meskipun beliau bukan satu-satunya yang meriwayatkan tafsir di Kuffah, akan tetapi beliau yang paling banyak meriwayatkan tafsir dibandingkan yang lain.
  1. Metode Penafsiran Sahabat
kita telah mengetahui bagaiman cara ( metode) nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dalam menafsirka al-Qur`an, dan itu tidak jauh berbeda dengan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur`an. Para sahabat ketika ingin menafsiri al-Qur`an mereka berpegang kepada:
  1. Al-Qur`an al-Karīm
Dengan alasan apa yang dikemukakan secara global disatu temapat (ayat) , kadang dijelaskan secara terperinci di tempat (ayat) yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya.
  1. Sunah Nabi Muhammad
Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam adalah pemberi penjelasan (penafsir) al-Qur`an yang paling otiritatif (berwenang). Kemudian semua prilaku dan ucapan nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam sesuai dengan al-Qur`an, dan kita mengetahui bahwa al-Qur`an dan sunah itu saling berkaitan. Maka, tidak salah bila para sahabat mengunakan sunah sebagai alat menafsiri al-Qur`an.
Contoh penafsiran atas kalimat ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَر dalam ayat:
وَأَذَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوْمَ ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَر
“Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar,”[12] (QS. al-Taubah:9:3)
Kemudian dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudhi disebutkan:
                        عن علي قل : سألت رسول الله عن (يوم الحجّ الأكبر) فقال : يوم النّحر
“ Dari ‘Ali Ra beliau berkata: saya pernah berkata pada Rasulullah tentang ayat (يوم الحجّ الأكبر) kemudian beliau menjawab (Hari tersebut adalah) Hari raya Nahr. [13]
  1. Pemahaman dan Ijtihad
Mengingat bahwa para sahabat adalah orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik serta mengetahui aspek-aspek ke-balagahan yang ada didalamnya. Dalam berijtihad sendiri para sahabat telah memiliki modal untuk meraka gunakan dalam melakukan ijtihad. Diantaranya:[14]
1.      Pengatahuan yang memadahi tentang kosa kata, gramatika dan sastra bahasa Arab. Hal ini sangat berguna ketika memahami suatu ayat dalam segi kebahasaan.
2.      Pengetahuan akan adat istiadat dan moral bangsa Arab, yang bisa membantu dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan kebiasaan dan ahlak mereka.
3.      Pengetahuan tentang tingkah laku dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunya ayat al-Qur`an.
4.      Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul
Hal ini sangat berpengaruh dalam penafsiran ayat. Sebab pengatuan akan suatu sebab bisa menimbulkan pengetahuan akan sebabnya.
5.      Kemampuan penalaran dan daya tangkap.
  1.  Cerita Isra’iliyat
Pada jenjang selanjutnya para sahabat terkadang menyandarkan penafsiran terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani (ahli kitab). Cara ini mereka tempuh ketika mereka sudah tidak menemukan apa-apa dalam al-Qur`an dan Hadis. Dalam perujukan kepada ahli kitab, sahabat hanya menayakan ayat-ayat yang masih ada kaitanya dengan kitab Taurat dan Injil. Seperti ayat-ayat yang berisi cerita-cerita Nabi dan umat-umat terdahulu. Yang mana di dalam al-Qur`an dan Hadis tidak dijelskan secara rinci. Kendati demikian, sahabat tidak terlalu banyak merujuk dari ahali kitab, mereka memilah-milah apa yang mereka dapatkan dari ahli kitab. Apakah itu sesuai dengan akidah dan syari’at Islam atau tidak. Rujukan ini dilakukan hanya untuk mengambil aspek nasehat dan pelajaran yang ada di dalam saja atau tidak lebih.[15]
  1. Ciri Tafsir Sahabat
Tafsir sahabat mempunyai ciri-ciri tersendiri sehingga menjadikan berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain.  Beberapa cirri tersebut diantaranya:
a.       Mereka tidak menafsiri semua ayat al-Qur`an, yang mereka tafsiri hanya sebats ayat-ayat yang masih samar, tidak jelas dan sulit difaham.
b.      Perbedaan dalam pemahaman makna diantara mereka relative sedikit.
c.       Mereka mayoritas merasa cukup atas makna-makna yang global dan tidak terlalu mendalami makna secara terperinci.
d.      Mereka membatasi dan mencukupkan diri dengan penjelasan makna bahasa yang mereka fahami dengan bahasa yang lebih ringkas.
e.       Sedikit sekali penalaran ilmiah yang mereka lakukan dalam masalah hukum-hukum fikih dan tidak ada kefanatikan terhadap madzhab-madzhab agama.
f.       Tafsir pada masa ini belum samapai taraf pembukuan
g.      Tafsir baru berbentuk riwayah seperti halnya Hadis.[16]
III.             Kesimpulan
Adapun cara yang ditempuh oleh nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam dan sahabat dalam menafsiri al-Qur`an mempunyai kesamaan. Hanya saja ketika tafsir itu berasal dari nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam, maka tidak bisa dipertanyakan lagi kevalidan tafsir tersebut. Karena memang tafsir dari Nabi tersebut bersumber dari ilham yang datang dari Allah.
Metode yang digunakan pun hampir sama. Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam ketika menafsiri al-Qur`an mengunakan ayat al-Qur`an yang lain. Terkadang jika Nabi tidak menemukan ayat al-Qur’an beliau melakukan sebuah ijtihad. Akan tetapi, ijtihad yang beliau lakukan sesuai dengan petunjuk Allah.
Adapun ketika pada masa sahabat mereka juga melakukan tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an, dan juga mereka  melakukan ijtihad . Akan tetapi, ijtihad yang mereka lampaui dengan cara mengidentifikasi kosa kata bahasa Arab, dan balagahnya. Adapaun cara lain yang mereka tempuh adalah dengan menafsiri mengunakan Hadis nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam. terkadang pula mereka menafsiri berdasarkan cerita isra’iliyat, yang sesuai dengan akidah dan syari’at Islam.

Daftar Pustaka
Al-Qur`an.
Dhahabī (al), Muhammad Husain, al-Isra’iliyat fi Tafsīr wa al-Hadis. Kairo: Maktabah Wahbah,1990.
Dhahabī (al),Muhammad Husain, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabat Wahbah, 2003.
Kathir , Abū Fidā’ Ismā’īl bin ‘Umar bin, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aḍim. ttp: Dār Thaibah li Nusur wa al-Tauzil,1999.
Rūmī (al) , Fahd bin ‘Abdurrahmān bin Sulaīman, Bahūth fi Ushul al-Tafsīr wa Manāhijuhu. Riyād: Maktabah al-Taubah,1996.
Suyūtī (al), ‘Abdurrahman bin Abū Bakar Jalāluddīn,al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur`an. Bierut:Dār al-Fikr, 1979
Turmudzī (al) , Muhammad Abū ‘Isyā, Sunan al-Turmudzī. Beirut:Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arābī, tth


[1] Ibrahim:14:4
[2] Mana’ Khalil al-Qaththan, Mabahith fi ‘Ulumil al-Qur`an, ( Madinah: Muaqi’ maktabah al-Madaniah al-Ruqumiah,2000) 334
[3] Ahamad amīn, Fajr al-Islām,(Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004) 191
[4] al-Nahl:16:44
[5] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,(Kairo: Maktabat Wahbah, 2003) 1:39
[6] ‘Abdurrahman bin Abū Bakar Jalāluddīn al-Suyūtī ,al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur`an,( Bierut:Dār al-Fikr, 1979) 174
[7] al-Baqarah:2:37
[8] Abū Fidā’ Ismā’īl bin ‘Umar bin Kathir, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aḍim, (ttp: Dār Thaibah li Nusur wa al-Tauzil,1999) 1:238
[9] al-A`raf:7:23
[10] Fahd bin ‘Abdurrahmān bin Sulaīman al-Rūmī, Bahūth fi Ushul al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (Riyād: Maktabah al-Taubah,1996) 20
[11] al-Suyūtī ,al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur`an ,187
[12] al-Taubah:9:3
[13] Muhammad Abū ‘Isyā al-Turmudzī, Sunan al-Turmudzī, (Beirut:Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arābī, tth) 291
[14] al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,1:45
[15] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Isra’iliyat fi Tafsir wa al-Hadis, (Kairo: Maktabah Wahbah,1990) 17
[16] al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn ,73

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman