TITIK MASUK HERMENEUTIKA DALAM
INTERPRETASI AL-QUR`AN
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kajian Hermeunetika dalam penafsiran al-Qur`an
Dosen Pengampu:
Muhammad Haidar, M. Si.

Oleh:
Syihabuddin Alwy (2012.01.01.051)
PROGAM STUDI ILMU AL QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2015
TITIK MASUK HERMENEUTIKA DALAM
INTERPRETASI AL-QUR`AN
Oleh: Syihabuddin Alwy
I. Pendahuluan
Perbincangan tentang kajian hermeneutika menjadi sebuah tawaran epistemologi dalam tafsir al-Qur`an belakangan ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya diskusi, seminar, penerbitan buku, maupun tulisan-tulisan lepas di media massa yang membicarakan kajian ini. Munculnya kajian ini, baik di Indonesia maupun di pusat-pusat kajian keislaman Timur-Tengah, antara lain sebagai akibat dari persentuhan tradisi ilmu keislaman yang sudah mapan dengan ilmu sosial di Barat.
Dalam diskursus ini, wacana keislaman lebih mendapat perhatian serius dibandingkan dengan wacana keagamaan lainnya, karena al-Qur`an sebagai kitab suci umat Islam yang layak untuk mendapatkan pengkajian yang serius. Oleh karena itu, para sarjana-sarjana kontemporer menjadikan hermeneutika sebagai alat untuk memasuki ranah penafsiran, guna untuk memahami teks-teks al-Qur`an.
Alur kajian dalam makalah ini akan menganalisis sejauh mana hermeneutika masuk dalam interpretasi al-Qur`an, yang fokus topiknya meliputi: pemaknaan hermeneutika,
II. Titik Masuknya Hermeneutika Dalam Penafsiran Al Qur’an
A. Pemaknaan Hermeneutika
Istilah Hermeneutika dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya kajian Al Quran klasik, tidak di temukan (sekalipun dalam segi penerapan hampir mirip dengan sebuah aliran penafsiran yang muncul di masa-masa kodifikasi tafsir dan berkembangnya aliran pemikiran Islam yaitu aliran Bathiniyah). Istilah Hermeneutika ini –kalau melihat sejarah perkembangan Hermeneutika modern- mulai populer beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer.
Hermeneutika secara etimologi berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien yang mempunyai arti menafsirkan, atau menerjemahkan. Atau dalam kata bendanya disebut dengan hermeneia, yang secara umum kata ini dianggap berasal dari dewa Hermes. Hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran. Adapun penafsirnya disebut hermenet. Sebenarnya hermeneia memiliki pengertian yang luas, yakni mencakup pembicaraan penjelasan tentang sesuatu yang belum jelas menjadi jelas dengan menggunakan bahasa ekspresi penerjemah dari satu bahasa ke bahasa yang lain, serta penafsiran yang mengeksplisitkan kesamaran makna dengan bahasa yang lebih jelas.
Secara lebih luas, Zygmunt Bauman mendefinisikan hermeneutika sebagai upaya mnjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi para pendengan dan pembacanya. Dalam pengertian sebenarnya hermeneutika juga dikenal dalam tradisi Islam dengan istilah tafsir dan takwil. Tafsir yang berfungsi untuk mencari pasan yang terkandung dalam teks, sedangkan takwil mengeksplorasi terhadap orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terselubung dalam teks.
Munculnya hermeneutik diawali untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan sebuah teks dari masa lampau, khususnya teks kitab suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi). Kagiatan penafsiran terhadap kitab suci merupakan cikal bakal dari diskursus hermeneutika filosofis.
B. Sejarah Hermeneutika
Al-Quran menyatakan bahwa sebelum dia diturunkan, Allah telah lebih dahulu menurunkan kitab-kitab suci lainnya kepada beberapa orang Rasul sebelum Muhammad Saw. Antara lain misalnya Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud dan Injil kepada Nabi Isa As. Problematika yang muncul kemudian adalah bahwa kitab-kitab suci tadi hanya mampu bertahan keoriginalannya pada periode-periode awal turunnya. Sedangkan pada periode selanjutnya, terutama setelah meninggalnya para nabi dan sahabat-sahabatnya tidak terpelihara dengan baik.
Generasi yang datang setelah itu baik sengaja maupun tidak telah banyak melakukan perubahan-perubahan dari teks asli kitab suci mereka, menyesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan masing-masing. Begitu seterusnya, sehingga semakin jauh dari masa kenabian maka semakin berubah dari teks aslinya. Informasi dan kecaman terhadap hal ini banyak kita dapatkan dalam kitab suci yang turun sebagai penyempurna kitab-kitab tadi yaitu Al Quran.
Akibat perubahan dan penyimpangan inilah sehingga di kemudian hari para Teolog Yahudi Kristen setelah mempelajari secara kritis menyimpulkan bahwa baik Taurat maupun Injil yang selama ini dianggap sebagai kitab suci ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar.
Hermeneutika dalam teologi Yahudi-Kristen lahir dan berkembang dari pemberontakan mereka terhadap otoritas Bible dan gereja yang banyak menyimpang dari nilai-nilai keilmuan dan sosial. Mereka menolak teks Bible dan berusaha agar Bible tidak mencampuri kehidupan mereka. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam kasus makanan haram yang telah ditentukan dalam Bible ditafsirkan dengan makna lain yang berubah dari pemahaman teksnya. Teks yang secara jelas mengharamkan hewan-hewan tertentu untuk dikonsumsi, ditafsirkan dengan sifat-sifat buruk yang dimiliki hewan-hewan itu yang mesti dijauhi.
Hermeneutika sendiri mengalami banyak kali pergeseran makna sesuai kecenderungan dan kondisi sosial para tokohnya. Di sana kemudian banyak terjadi perdebatan sengit antara masing-masing pemahaman. Ini disebabkan karena metode ini tidak terlahir lengkap dan siap pakai. Namun ia berkembang secara berangsur-angsur mengikuti perkembangan tokoh dan perumusnya. Intinya adalah bahwa hermeneutika akhirnya berakhir pada titik all understanding is interpretation, semua pemahaman adalah penafsiran, oleh karenanya akan sangat mengacu pada subyektivitas penafsir.
C. HERMENEUTIK DALAM PENAFSIRAN TEKS (ALQURAN)
Berangkat dari ketidak puasan dengan mentode penafsiran konvensional, dan perkembangan zaman yang semakin moderen. Para pemikir Islam kontemporer berasumsi bahwa penefsiran konvensional sudah tidak relevan lagi untuk konteks zaman sekarang, karenanya perlu ada sebuah pergantian dengan metode hermeunetika.
Masuknya hermeneutika awalnya hanya sebagai studi penafsiran bibel akan tetapi untuk saat ini hermeneutika juga telah masuk alam kajian al-Qur’an yang mana kajian hermeneutika ini dijadikan oleh para pemikir Islam kontemporer sebagai pengganti metode tafsir konvensional yang dianggap sudah tidak relevan, Amin Abdullah rektor UIN Yogyakarta adalah seorang yang mendukung penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an. dalam hal tersebut menulis salah satu tulisan pengantar untuk buku hermeneutika pembebasan dia menulis:
“metode panafsiran al-Qur’an selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks al-Qur’an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, sebab para mufassir klasik lebih menganggap tafsir al-Quran sebagai hasil kerja-kerja kesolehan yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufassirnya. Atau barang kali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertarungan politik yang maha dahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik al-Quran tidak lagi memberi makna dan fingsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”
Titik masuknya metode penafsiran hermeneutika dalam al-Qur’an tidak jauh berbeda dengan awal masuknya metode penafsiran hermeneutika dalam bibel. yang mana seorang hermeneut atau pengaplikasian metode hermneutika dalam pengaplikasianya harus memahami dasar-dasar hermeneutika, dan dalam dasar-dasar hermeneutika sendiri hermeneut harus meyakini bahwa kitab suci bukanlah sesuatu yang bersifat ilahiyah. setelah itu barulah hermeneut bisa melakukan penafsiran dalam kitab suci. dengan dasar-dasar hermeunetik sebagai berikut:
1. Mereka harus meyakini bahwa kitab suci adalah teks. yang mana bersumber dari naskah-naskah klasik, yaitu sebuah manuskrip yang diwariskan Nabi kepada umatnya.
2. Teks kitab suci adalah budaya, maksudnya kitab suci dalam pembentukanya terpengaruh dengan budaya yang ada disekitarnya.
3. Teks kitab suci adalah teks bahasa, karena realitas dan budaya tidak terlebas dari bahasa.
4. Teks kitab suci adalah teks hostoris. Maksudnya, kitab suci hanyalah rekaman sejarah yang dialami oleh Nabi saat kitab suci itu diturunkan.
5. Teks kitab suci adalah teks manusiawi. Maksdunya teks kitab suci adalah teks yang dibuat oleh manusia dan bukan Tuhan, kerena teks tersebut terpengaruh dengan budaya bahsa dan sejarah. Sedangkan tuhan tidak terpengaruh dengan semua itu, maka dengan demikian kitab suci bukan dari tuhan , tetapi datangnya dari sesuatu yang terpengaruh dengan budaya bahasa dan historis yaitu manusia.
Dasar-dasar di atas pada awalnya diterapakan dalam penafsiran bibel. Yang kemudian dibawa oleh para pemikir Islam kontemporer sebagai metode penafsiran al-Qur’an. Tokoh yang membawanya diantaranya adalah Hasan Hanafi, Ali Abdul Razaq, Thoha Husain, Nasr Abu Zaid, Arkoun, Fazlur Rahman, Khalid Abu Fadhol, dan Amin Abdullah serta artifis liberal. Dalam pengkajiannya terhadap al-Qur’an tokoh-tokoh tersebut menerapkan konsep dasar yang digunakan dalam pengkajian bibel. Dengan kata lain, para pemikir Islam kontemporer mengadopsi teori para pengkaji bibel.
Dalam tahap ini para pengkaji al-Qur’an menganggap bahwasanya al-Qur’an adalah sebuah teks, teks al-Qur’an adalah teks budaya, al-Qur’an adalah teks bahasa, al-Qur’an adalah teks historis, dengan kata lain hermeneutika al-Qur’an akan membawa sebuah kesimpulan bahwasanya al-Qur’an merupakn teks manusiawi atau teks yang dibuat oleh manusia, yaitu Nabi Muhammad.
Dengan menempatkan Nabi Muhammad sebagai pengarang al-Qur’an dan menyebut al-Qur’an sebagai cultural product, Abu Zaid yang merupakan seorang yang mendukung penerapan hermaneutika dalam al-Qur’an telah berusaha melepaskan al-Qur’an dari posisinya sebagai kalam Allah yang suci, yang maknanya khas dan Nabi Muhammad Ṣala Allāh Alayhi wa al Salām. Tetapi Abu Zaid menekankan bahwa teks apapun bentuknya adalah produk budaya. Teks-teks al-Qur’an berbentuk dalam realita dan budaya yang selama kurang lebih 20 tahun. Al-Qur’an jelas menggunakan bahasa Arab, tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realita masyarakat dan budayanya. Dengan demikian tidaklah mungkin berbicara tentang al-Qur’an terlepas dari realita dan budaya masyarakat itu.
Abu Zaid juga memandang bahwa al-Qur’an adalah produk budaya yang terbentuk dalam kurun sejarah tertentu. Karena itu, al-Qur’an tidak terlepas dari konteks masyarakat, sejarah, zaman dimana ia diturunkan dan berkembang. Jadi dalam al-Qur’an ada unsur historisitas. Karena itulah al-Qur’an adalah teks manusiawi, karena kedudukanya sebagai teks sejarah dan teks manusiawi, maka tidak perlu takut mengaplikasikan berbagai metode penafsiran apapun terhadap al-Qur’an.
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak mutlak hanya milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas. Bentuk hermeneutik dalam suatu kajian mulai berkembang pada abad ke-17 dan ke-18.
Kajian hermeneutik sebagai suatu bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20. Diskursus kajian hermeneutik semakin berkembang, ia tidak hanya mencakup pada bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan telah berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan hermeneutik adalah sejarah, hukum. Filsafat, kesusasteraan dan lain sebagainya, yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.
III. Kesimpulan
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak mutlak hanya milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas.
Bentuk hermeneutik dalam suatu kajian mulai berkembang pada abad ke-17 dan ke-18. Kajian hermeneutik sebagai suatu bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20. Diskursus kajian hermeneutik semakin berkembang, ia tidak hanya mencakup pada bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan telah berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan hermeneutik adalah sejarah, hukum. Filsafat, kesusasteraan dan lain sebagainya, yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Alfatih M. S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Alquran dan Hadis, vol. I, no. 2, 2001
Burhanuddin, Mamat S, Hermeneutika al-Qur`an Ala Pesantren, Yogyakarta: UII Press, 2006
Huasin, Adian, dkk, Hermeunetika dan tafsir al-qur’an, Depok: Gema Insani, 2008.
Kuswaya, Adang, Metode Tafsir Kontemporer, Salatiga: STAIN Salatiga, 2011
Kuswaya, Adang, Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi, Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2009
Mulyono, Edi, dkk, Belajar Hermeneutika, Yogjakarta: IRCiSoD, 2012
Zaid, Nasr Hamid Abu, Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1994.
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
0 komentar:
Posting Komentar