Qawaid Tafsir

on Rabu, 30 April 2014


Pendahuluan

Alquran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila dilakukan telaah seksama, maka akan ditemukan bahwa alquran mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan alquran sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya-upaya untuk menafsirkan alquran telah berlangsung sejak generasi-generasi Islam angkatan pertama hingga hari ini. 
Kitab suci alquran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam segala as-peknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang diguna-kannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami alquran secara utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan alquran sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran alquran. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.


Rumusan masalah
1.      Apa pengertian Qawaidut tafsir?
2.      Apa macam-macam Qawaidut tafsir?
3.      Apa manfaat Qawaidut tafsir?




A.    PENGERTIAN QAWAID TAFSIR

Kata Qawaid al-tafsir terdiri atas dua kata yaitu Qawaid dan al-tafsir . Qawaid adalah kata jamak (plural) dari kata mufrad (singular) qaidah. Secara harfiah, qaidah (dalam bahasa Indonesia kaidah) berarti asas,dasar,panduan,prinsip; bisa juga diartikan peraturan, model,contoh dan cara.[1]Qawaid dalam istilah ahli tafsir ialah:
“hukum(aturan) yang bersifat menyeluruh yang dengan aturan-aturan yang umum bisa di kenali hukum-hukum yang partikular(juz’.
Kemudian kata tafsirmerupakan masdar dari fassara-yufassiru-tafsiiran yang berarti penjelasan atau pengungkapan sesuatu agar dapat dimengerti maksudnya. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Atau juga hukum-hukum atau aturan-aturan global yang membawa pada pengambilan kesimpulan makna-makna yang terkandung dalam al-qur’an serta pengetahuan tentang pengambilan manfaat darinya.
Dengan demikian, maka dapatlah di simpulkan bahwa yang dimaksud Qawaid al-Tafsir adalah (kaidah-kaidah penafsiran) seperti di formulasiekan Khalid Utsman al-Sabt bahwa:
Qawaid al-Tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat global yang menuntun seorang mufasir untuk menggali makna-makna Al-Qur’an al-Azdim dan menggali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman iru sendiri.
Dengan kata lain, dapat di fahami dari definisi yang di kemukakan oleh al-Sabt bahwa Qawaid al-Tafsir ialah suatu tata aturan yang mengatur tentang cara dan mekanisme penafsiran Al-Qur’an yang harus di kuasai mufasir dalam rangka menghasilkan penafsiran Al-Quran yang tepat,benar dan baik.[2]




B . MACAM-MACAM QAWAIDU TAFSIR
(bahasa)
Kaidah-kaidah yang perlu dipahami oleh para Mufasir banyak sekali. Namun dalam pembahasan kali ini hanya akan diungkap beberapa kaidah saja yang dianggap sangat penting yang berkaitan dengan kebahasaan , yaitu :

1. Dhamir
Dhamir mempunyai kaidah-kaidah bahasa tersendiri yang telah di simpulkan oleh para ahli bahasa dalam Al-quran al-karim, sumber-sumber ahli bahasa Arab, hadist nabawi dan dari penuturan orang-orang arab yang dapat di jadikan rujukan, baik berupa puisi maupun prosa.[3]Di katakan Ibnul Anbari sendiri telah menyusun suatu kitab yang terdiri dari 2 jilid yang secara khusus membahas dhamir-dhamir yang terdapat dalam al-quran.
Pada dasarnya, dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk mengganti penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan.
Ibnu Malik dalam kitabnya At-tashil menyatakan “penjelas Dhamir gha’ib itu harus di dahulukan. Tempat kembali dhamir gho’ib itu ialah lafadz yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunjukan lain. Terkadang tempat  kembali dhamir itu di jelaskan lafadznya dan terkadang tidak di jelaskan karena ada indicator, baik indrawi maupun yang di ketahui melalui penalaran, atau dengan menyebut bagian marja’,keseluruhannya, imbangannya atau yang menyertainya, dalam bentuk apapun juga.”
Contoh surat al-maidah ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dhamir huwa di sini kembali pada keadilan, al-‘adlu yang terkandung dalam lafadz I’dilu. Jadi, makna ayat keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan.
Marja’ dhamir kadang-kadang terletak sesudah lafadz dhamir itu sendiri, namun hanya dalam pengucapannya saja, seperti” فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى (Thaha:67).
Marja’ sendiri adakalanya dapat di fahami dari kontek kalimat, seperti pada “كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(ar-Rahman:26) yang di maksud عَلَيْهَا dalam ayat ini adalah ‘ala al-ardhi. Adapun contoh yang lain   أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ (Hud:13). Dhamir “wawu” pada lafadz يَقُولُون kembali pada “orang-orang musyrik, dan dhamir fa’il lafadz افْتَرَاهُ kembali pada nabi Muhammad, dan dhamir maf’ul kembali pada al-quran.
Dhamir terkadang juga kembali pada lafadz , bukan kepada makna, seperti dalam firmannya وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ(Fathir:11) dhamir pada umurihi kembali pada lafadz mu’ammar nammun yang di maksud adalah mu’amar yang lain. Al-Fara’ bekata: yang dimaksud adalah mu’ammar yang lain, bukan mu’amar yang pertama. Tetapi di kinayahka dengan dhamir seakan-akan ia adalah mu’ammar yang pertama. Karena lafadz yang kedua jika di tampakkan maka sama dengan lafadz yang pertama, seakan-akan berbunyi وَلا يُنْقَصُ مُعَمَّرٍ مِنْ عُمُرِه. Jadi, kinayah[4] dhamir pada min ‘umurihi kembali pada lafadz mu’ammar yang lain, bukan mu’amar yang pertama. 

2. Isim Ma’rifah dan Nakirah

dalam ilmu nahwu di katakana bahwa Isim nakirah adalah kata yang menunjukkan suatu hal atau benda yang bersifat tidak tentu (bersifat umum). Sedangkan isim ma’rifah merupakan kebalikan dari isim nakirah, yaitu kata yang menunjukkan suatu hal atau benda yang bersifat khusus. Adapun isim-isim yang termasuk dalam kategori isim ma’rifah adalah isim dlomir, isim ‘alam, isim isyarah, isim maushul, isim yang kemasukan Al -Ta’rif, isim yang disandarkan pada kata lain (idlafah), dan isim munãdã.
Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
1.      untuk menunjukan satu, seperti pada : وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ(yasin:20). “Rajulun” maksudnya adalah seseorang laki-laki.
2.      untuk menunjukan jenis, seperti وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ (al-baqoroh:96) yakni suatu macam kehidupan dengan bekerja keras menuntut tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3.      Untuk menunjukkan arti banyak dan melimpah seperti pada ayat:” aina lana la ajran” (asy-syu’ara’:41). Ajran disini maksudnya  upah yang melimpah.
4.      Untuk meremehkan dan merendahkan ,misalnya “min ayyi syain kholaqah” ‘abasa:18) yakni diciptakan dari sesuatu yang hina atau rendah.
5.      Untuk menyatakan sedikit, kecil seperti ayat:wa’dallahu al mu’minina wa al mu’minati jannatin tajri min tahtihal anharu kholidina fiha wa masakina thoyyibatan fi jannati ‘adnin wa ridwan minallahi akbar” (al-Taubah:72) maksudnya keridaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar nilainya dari pada surga karena keridaan itu pangkal segala kebahagiaan.
Adapun penggunaan isim ma’rifat  mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan jenis dan macamnya:
1.      Dengan dlomir (kata ganti) bik dlomir mutakallim , mukhotom maupun ghoib.
2.      Dengan isim alam (nama), berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam benak pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, menghormati, memulyakan seperti pada ayat “muhammadurrosulullah” (al-Fath:29).
3.      Dengan menggunakan isim isyaroh (kata tunjuk) untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat seperti lafadl “hada” atau enjlaskan keadaannya dengan menggunakan isyarat tunjuk jauh seperti lafal “wa’ulaika” atau dengan maksud menghinakanmaka menggunajkan isim isyarat dekat “hadihi” atau dengan maksud memulyakan dengan memakai isim isyaroh jauh seprti “dalika” atau mengingatan (tanbih) bahwa sesuatu yang diisyrahkan itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut.
4.      Pema’rifatabn dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya  kata disebabkan hal lain
5.      Makrifat dengan ‘al berguna untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui,karena  telah disebutkan  ma’hud dzikri atau menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui  bagi benak pendengar seperti :laqad radliyallahu anil mu’minin id yubayyiunaka tahta asysyajarah”atau nutuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena kehadirannya pada saat itu.

6.      Lafazh yang Diduga Sinonim
Banyak sekali kata-kata di dalam al-qur’an yang diduga sinonim, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Namun, karena samarnya kedua kata-kata tersebut para ulama’ hampir tidak bisa membedakan di mana letak perbedaannya.   Diantaranya adalah ‘’al-khauf’’ dan ‘’al-khasyyah’’ ( takut ).  Ma’na ‘’al-khasyyah’’ lebih tinggi dari pada ‘’al-khauf,’’ karena al-khassyah  diambil dari kata-kata ‘’syajarah khasyyah’’ artinya pohon yang kering. Jadi, arti al-khasyyah adalah rasa takut yang sangat. Sedangkan ‘’al-khauf’’ berasal dari kata-kata ‘’naqah khaufa,’’ artinya onta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan. Disamping itu, ‘’al-khasyyah’’ ialah rsa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Dengan demikian, al-khasyyah adalah al-khauf atau rasa takut yang disertai rasa hormat ( ta’zhim ). Sedangkan al-khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut karena pihak yang ditakuti itu remeh. Akar kata, al-khasyyah terdiri atas kha’, syin dan ya’, didalam tasrifannya menunjukkan sifat keagungan dan kebesaran. Seperti ‘’asy-syaikh’’, yang berarti as-sayyid al-kabir ( pemimpin besar ), dan ‘’al-khaisy’’ ( al-ghalizh min al-libas ), artinya pakaian yang kasar. Oleh karena itu, kata ‘’al-khasyyah’’ sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam ayat, ‘’ innama yakhasyallaha min ‘ibadihi al-ulama’’( Fatir: 28 ) ‘’ dan ‘’al-alladzina yuballighuna risaalatillahi wa yakhsyaunallaha wa la yakhsyauna ahadanillallah.’’( Al-ahzab: 39 ).  Adapun dalam ayat ‘’ yakhafuna rabbahum min fauqihim…’’ ( An-Nahl: 50 ), khauf disini untuk menyifati para malaikat sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata al-khauf disini untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat itu besar –besar dan kuat tetapi dihadapan Allah mereka lemah. Ungkapan ini disambung dengan ‘’ fauqahum’’ yang berarti Allah itu diatas mereka , hal ini menujjukan akan kebesaran-Nya. Dengan demikian, terkumpullah dua unsur ma’na yang terkadung oleh ‘’al-khasyyah’’ tanpa merusak arti kehebatan para malaikat, yaitu ‘’khauf’’ dan penghormatan mereka kepada Tuhan.
   Demikian juga lafazh ‘’ asy-syuh’’ dan ‘’al-bukhl’’( kikir ). Arti lafazh pertama lebih berat dari lafazh kedua, karena pada umumnya asy-syuh adalah al-bukhl atau kikir yang disertai ketamakan.
   Juga lafazh ‘’ as-sabil’’ dan ‘’ath-thariq’’( jalan ). Yang pertama ( as-sabil ) banyak dipakai pada kebaikan sedang kedua hampir tidak pernah dipakai kebaikan kecuali bila disertai sifat atau penjelasan yang menunujukkan makna yang dimaksud. Misalnya dalam ayat, ‘’ yahdi ila al-haqwa ila thariq mustaqim.’’ ( al- ahqaf:30 ). Menurut ar-raghib dalam mufradatnya, ‘’ as-sabil’’  adalah ‘’ ath-thariq  atau jalan yang didalamnya terdapat kemudahan . ia lebih spesifik dari pada ‘’ ath-thariq.’’
   Kemudian, lafazh ‘’ madda’’ dan ‘’amadda’’. Menurut ar-raghib, kata ‘’ imdad’’ banyak dipakai dalam hal yang disenangi, disukai, seperti pada ayat,’’ wa amdadnahum bi fakihah’’ ( ath-thur:22 ). Sedangkan ‘’madda dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi, misalnya ‘’ wanamuddu lahu min al-‘azabi madda’’ ( maryam: 79 ).

4.  Pertanyaan dan Jawaban
Dalam kehidupan sehari-hari selalu saja ada dan tidak mungkin bisa dihindari kedua hal ini, yaitu persoalan tanya jawab. Bertanya merupakan meminta penjelasan atau informasi karena ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu. Sedangkan jawaban merupakan penjelasan dari sesuatu yang ditanyakan dengan maksud agar dapat memberi kabar atau informasi terhadap si penanya tersebut. Di dalam al-qur’an terdapat banyak sekali redaksi ayat yang berisi tentang pertanyaan maupun jawaban. Ada kalanya meminta jawaban, ataupun pertanyaan yang berisi penegasan pada suatu masalah. Bahkan ada yang berbentuk sindiran kepada mukhatabnya.
Pada dasarnya, jawaban itu hendaklah sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan, sebagai peringatan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.  Jawaban seperti itu disebut uslub al-hakim ( cara yang bijak ). Sebagai contoh firman Allah Ta’ala, ‘’ Yas’ alunaka ‘anil ahillah, kul hiya mawaqitu linnasi wal hajj’’ ( al-baqarah: 189 ). Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa semua ini Nampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya , untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
   Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa ditanyakan, karena memang hal itu dipandang perlu. Misalnya ayat, ‘’qulillahu yunajjikum minha wamin kulli karbin’’( al-an’am: 63 ). Untuk menjawab suatu pertanyaan dalam, ‘’ man yunajjikum min zhulumat al-barrwa al-bahr’’( al-an’am: 36 ).
   Terkadang pula jawaban itu lebih sempit lingkupnya dari pertanyaan, karena tunutunan situasi, seperti ayat ‘’ Qul ma yakunu lian ubaddillahucmin tilqa’I nafsi ‘’( Yunus; 15 ) sebagai jawaban ayat yang sama. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti sja tidak mampu tentu menciptakan tidak mampu lagi.
   Apabila lafazh yang berisi pertayaan atau permintaan yang dipakai untuk memakai sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’adi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ‘’an’’ seperti ‘’wa yas’alunaka ‘an ar-ruh’’( Al-israa’: 85 ). Dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau sesuatu yang serupa, ia mutta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ‘’min,’’ seperti ‘’ was’alu maanfaqtum ‘’( Al-Mumtahanah: 15 ), dan ‘’was’alullah min fadhlih’’ ( An-Nisa’: 32 ).
4.      Pemakaian Kata Benda dan Kata Kerja
Jumlah ismiyyah ( kailmat yang menggunkan kata benda ) menunujukkan arti tsubut ( tetap ) dan  istimrar  ( terus-menerus ). Sedangkan jumlah fi’ilnyyah ( kalimat yang menggunakan kata kerja ) menunjukkan arti tajaddud ( baru ) dan huduts ( temporal ). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bias ditempati oleh yang lain. Misalnya, tentang infaq yang digunakan dengan jumlah fi’liyah, seperti dalam ayat, ‘’ Alladzina yunfiquna fi as-sarra’ wa ad-dharra’ ‘’ ( Al-Imran: 134 ). Tidak diungkapkan dengan menggunakan kata ‘’ al-munfiqun.’’
   Akan tetapi, dalam masalah keimanan digunakan jumlah ismiyah, seperti dalam ‘’ Innama al-mu’minuna al-ladzina amanu billah wa rasulihi’’( Al-Hujurat: 15 ). Penggunakan itu disebabkan, karena infaq misalnya merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal, terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakekat yang tetap berlangsung selama hal yang menghendakinya masih ada.
   Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madhi ( kata kerja masa lampau ), ialah perbuatan itu timbul tenggelam, kadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudhari’ kata kerja masa kini atau masa akan datang ), perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas, sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama’ berpendapat, ucapan salam yang disampaikan oleh Ibrahim Alaihissalam dalam Adz-Dzariyat: 25 lebih mengena ( ablagh ) dari pada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim ‘’ Idz dakhalu’ alaihi faqafu salan.’’  Kata ‘’ salaman ‘’ dinashabkan karena ia mashdar yang menggantikan fi’il. Asalnya, ‘’ Nusallimu alaika salaman. ‘’  Ungkapan ini menujukkan bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi saat itu. Berbeda dengan jawabannya, ‘’ qala salamun, ‘’ lafazh ‘’ salamun ‘’ dirafa’kan karena menjadi mubtada’ ( subyek ) yang khabar ( predikat )nya tidak disebutkan, seperti; alaikum salam, yang menunjukkan tetapnya salam. Disini tampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya, demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah subhanahu wa Ta’ala,disamping juga merupakan penghormatan Ibrahim kepada mereka.
5.       Pertanyaan dan Jawaban
Dalam kehidupan sehari-hari selalu saja ada dan tidak mungkin bisa dihindari kedua hal ini, yaitu persoalan tanya jawab. Bertanya merupakan meminta penjelasan atau informasi karena ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu. Sedangkan jawaban merupakan penjelasan dari sesuatu yang ditanyakan dengan maksud agar dapat memberi kabar atau informasi terhadap si penanya tersebut. Di dalam al-qur’an terdapat banyak sekali redaksi ayat yang berisi tentang pertanyaan maupun jawaban. Ada kalanya meminta jawaban, ataupun pertanyaan yang berisi penegasan pada suatu masalah. Bahkan ada yang berbentuk sindiran kepada mukhatabnya.
Pada dasarnya, jawaban itu hendaklah sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan, sebagai peringatan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.  Jawaban seperti itu disebut uslub al-hakim ( cara yang bijak ). Sebagai contoh firman Allah Ta’ala, ‘’ Yas’ alunaka ‘anil ahillah, kul hiya mawaqitu linnasi wal hajj’’ ( al-baqarah: 189 ). Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa semua ini Nampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya , untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
   Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa ditanyakan, karena memang hal itu dipandang perlu. Misalnya ayat, ‘’qulillahu yunajjikum minha wamin kulli karbin’’( al-an’am: 63 ). Untuk menjawab suatu pertanyaan dalam, ‘’ man yunajjikum min zhulumat al-barrwa al-bahr’’( al-an’am: 36 ).
   Terkadang pula jawaban itu lebih sempit lingkupnya dari pertanyaan, karena tunutunan situasi, seperti ayat ‘’ Qul ma yakunu lian ubaddillahucmin tilqa’I nafsi ‘’( Yunus; 15 ) sebagai jawaban ayat yang sama. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti sja tidak mampu tentu menciptakan tidak mampu lagi.
   Apabila lafazh yang berisi pertayaan atau permintaan yang dipakai untuk memakai sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’adi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ‘’an’’ seperti ‘’wa yas’alunaka ‘an ar-ruh’’( Al-israa’: 85 ). Dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau sesuatu yang serupa, ia mutta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ‘’min,’’ seperti ‘’ was’alu maanfaqtum ‘’( Al-Mumtahanah: 15 ), dan ‘’was’alullah min fadhlih’’ ( An-Nisa’: 32 ).
6.      Masalah Athaf

Athaf merupakan salah satu kaidah yang berfungsi sebagai penggabung dua kata atau lebih.
   Athaf ( العطف ) terbagi menjadi tiga macam:
1.      Athaf’alal lafzhi( athaf kepada lafazh ), dan inilah yang pokok bagi athaf.
2.      Athaf’alal mahal ( athaf kepada mahal ) atau kedudukan kata. Al-Kisa’I member contoh dalam ( Al-Maa’idah: 69 ). Menurutnya, lafazh ‘’as-shabi’un’’ di athakan kepada mahallinna  dan isimnya yang kedudukannya adalah marfu’ karena permulaan kalimah ( mubtada’ ).
3.      Athaf ‘alal ma’na ( athaf kepada makna ). Misalnya dalam ( Al-Munafiqun: 10 ). Menurut qira’ah selain Abu Amru, lafazh ‘’ akun’’ dijazamkan. Tetapi bagi Al-Khalil dan Sibawaih, lafazh tersebut diathafkan kepada sesuatu yang dianggap ada
4.      ( tawahhum) karena makna ‘’ law la akhkhartani fa ashshaddaqa ‘’ dengan ‘’ akharani ashshaddaqa ‘’ adalah sama . seakan-akan dikatakan, ‘’ In akhkhartani ashshaddaqa wa akun…’’ Demikian pula Al-Farisi menyatakan demikian untuk qira’ah qunbul ‘’ Innahu man yattaqi wa yashbir’’ ( Yunus: 90 ) dengan mensukunkan huruf  ra’ sebab ‘’man’’ maushul mengandung makna syarat.
   Para ulama’ berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengathafkan khabar ( kalimat berita ) kepada insya’ ( bukan kalimat berita ) dan sebaliknya. Sebagian besar mereka tidak membolehkan, sedangkan golongan lain membilehkannya, dengan dalil ayat ‘’ wa basysyir al-mu’minun’’  sama maknanya dengan ‘’ tu’minun’’ dalam ayat sebelumya ( Ash-Shaf: 13 ). Golongan yang tidak membolehkan mengatakan, lafazh ‘’tu’minun’’ sama maknanya dengan ‘’ amanu’’ ia adalah kalimat khabar yang berma’na insya’.  Maka, mengathafkan kalimat insya’ seperti ‘’wabasysyir’’ kepadanya ini adalah benar. Seakan-akan dikatakan ‘’ Beriman dan berjihadlah, pasti Allah akan memantapkan dan menolongmu. Dan berilah kabar gembira, wahai Rasulullah, kepada orang-orang beriman dengan hal itu. ‘’ faedah menggunkan kalimat khabar ditempat kalimat perintah, yakni ‘’ imtatsil’’ ( taatilah ). Karenanya member tahukan tentang keimanan dan ijtihad yang sudah ada.


7.      Mufrad dan jamak
Secara etimologi kata mufrad merupakan kata yang bermakna tunggal, sedangkan kata jama’ adalah kebalikannya yang berarti banyak. Namun, jika dipandang dari segi terminologi, kata mufrad adalah kata yang bermakna satu. Dan kata jama’ adalah kata yang bermakna yang bermakna tiga atau lebih.[5]

       Sebagian lafadz al qur’an terkadang dimufradkan untuk menunjuk pada suatu makna tertentu, dan dijamakkan untuk menunjuk pada isyarat khusus, atau terkadang jamak lebih diutamakan dari pada mufrad atau sebaliknya. Karena itu sering kita jumpai dalam alqur’an sebagian lafadz yang hanya  berbentuk jamak, ketika diperlukan bentuk mufradnya maa yang digunakan adalah kata sinonimnya. Sebaliknya ada sejumlah lafadz yang hanya ditulis dalam bentuk mufradnya di setiap tempat dalam Al Qur’an. Dn ketika hendak dijamakkan, iadjamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada bandingannya,
       Termasuk kelompok ini ialah lafadz as sama’, ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan keperluan. Jika yang dimasukkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak (samawat) yang menunjukkan betapa sangat besar dan luasnya, seperti terdapat dalam (alhasyr: 1). Dan jika yang dimasukkan adalah “arah”, maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti dalam surah  al-mulk: 6.
      Lafadz “ar-rih” juga sama, ia disebutkan dalam bentuk jamak dan mufrad. Bentuk jamak (ar-riah) dipakai dalam konteks adanya rahmat, sedang bentuk mufrad dalam konteks yang berhubungan dengan adzab. Disebutkan, hikmahnya ialah bahwa “ar-riah” atau angin rahmat  itu bermacam-macam sifat dan manfaatnya yang terkadan sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain, diantaranya ada angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karenaitu dalam konteks rahmat ini dijamakkan. Sedang konteks yang berhubungan dengan adzab, maka angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang dan menolaknya.
Demikian juga lafadz “an-nur” yang senantiasa dimufradkan, tetapi lafadz “azh-zhulumat” senantiasa berbentuk jamak. Juga lafadz “sabil al-haqq”, selalu dimufradkan dan jalan kebatilan selalu dijamakkan (subul). Kebatilan banyak sekali, bercabang-cabang. Karena itu lafadz “waliyyu al-mu’minin”dimufradkan, dan “auliya’ al-kafirin” dijamakkan.
Tak terkecuali lafadz “al- masyiriq” dan al-maghrib”. Keduanya disebutkan dalam bentuk mufrad, mutsanna dan jamak. Pemakaian bentuk mufrad karena mengingat arahnya dan untuk mengisyaratkan kea rah timur dan barat, seperti dalam Al-Muzzammil: 9. Bentuk mutsanna, musim dingin dan musim panas, seperti dalam ayat Ar Rahman:17. Bentuk jamak digunakan terhadap keduanya, Karena menjadi tempat terbit dan terbenam disetiap musim.
Daftar Pustaka
al Qhaththan,manna,pengantar studi ulumul Qur’an,Pustaka al-Kautsar:Jakarta Timur, 2013
Amin suma,Muhammad,Ulumul Quran,PT. Raja Grafindo persada: Jakarta,2013
 warson munawir,Ahamd,al-munawwir: kamus arab indonesia,yogyakarta:Pondok Pesantren al-munawair, 2012



[1]Ahmad warson munawir,al-munawwir: kamus arab indonesia (yogyakarta:Pondok Pesantren al-munawair,t,t) hlm 1224
[2]Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,Ulumul Qur’an(PT.Raja Grafindo Persada,2013),hlm.418
[3]  Mana’ al-Qathan hlm 241
[4] Kinayah yaitu istilah untuk penyebutan sesuatu tetapi yang dimaksudkan sesuatu yang lain.
[5]Depag, 129


Total Tayangan Halaman