Pendahuluan
Alquran
merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila
dilakukan telaah seksama, maka akan ditemukan bahwa alquran mengandung
keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi
isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan alquran sebagai rujukan utama umat
Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi
baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk
menafsirkan dan menggali kandungan maknanya. Sejarah telah membuktikan bahwa
upaya-upaya untuk menafsirkan alquran telah berlangsung sejak generasi-generasi
Islam angkatan pertama hingga hari ini.
Kitab suci
alquran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa
tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci
diturunkan, dalam segala as-peknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan
yang diguna-kannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami alquran
secara utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya
penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan
kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para
ulama tafsir dalam menafsirkan alquran sehingga penafsiran tersebut dapat
digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai
persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai
referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran
yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun
kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi
benar-salah terhadap suatu penafsiran alquran. Kaidah-kaidah ini lebih
berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat
obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada
dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian Qawaidut tafsir?
2.
Apa macam-macam Qawaidut tafsir?
3.
Apa manfaat Qawaidut tafsir?
A.
PENGERTIAN
QAWAID TAFSIR
Kata Qawaid al-tafsir
terdiri atas dua kata yaitu Qawaid dan al-tafsir . Qawaid adalah kata jamak
(plural) dari kata mufrad (singular) qaidah. Secara harfiah, qaidah (dalam
bahasa Indonesia kaidah) berarti asas,dasar,panduan,prinsip; bisa juga
diartikan peraturan, model,contoh dan cara.[1]Qawaid dalam istilah ahli tafsir ialah:
“hukum(aturan) yang
bersifat menyeluruh yang dengan aturan-aturan yang umum bisa di kenali
hukum-hukum yang partikular(juz’.
Kemudian kata tafsirmerupakan masdar dari fassara-yufassiru-tafsiiran yang berarti
penjelasan atau pengungkapan sesuatu agar dapat dimengerti maksudnya. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah
yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Atau juga hukum-hukum atau aturan-aturan global yang membawa pada
pengambilan kesimpulan makna-makna yang terkandung dalam al-qur’an serta
pengetahuan tentang pengambilan manfaat darinya.
Dengan demikian, maka dapatlah di
simpulkan bahwa yang dimaksud Qawaid al-Tafsir adalah (kaidah-kaidah
penafsiran) seperti di formulasiekan Khalid Utsman
al-Sabt bahwa:
Qawaid al-Tafsir ialah rangkaian
aturan yang bersifat global yang menuntun seorang mufasir untuk menggali
makna-makna Al-Qur’an al-Azdim dan menggali cara memperoleh atau menghasilkan
pemahaman iru sendiri.
Dengan kata lain, dapat di fahami
dari definisi yang di kemukakan oleh al-Sabt bahwa Qawaid al-Tafsir ialah suatu
tata aturan yang mengatur tentang cara dan mekanisme penafsiran Al-Qur’an yang
harus di kuasai mufasir dalam rangka menghasilkan penafsiran Al-Quran yang
tepat,benar dan baik.[2]
B . MACAM-MACAM QAWAIDU TAFSIR (bahasa)
Kaidah-kaidah yang perlu dipahami oleh para Mufasir banyak sekali. Namun
dalam pembahasan kali ini hanya akan diungkap beberapa kaidah saja yang
dianggap sangat penting yang berkaitan dengan kebahasaan , yaitu :
1. Dhamir
Dhamir mempunyai kaidah-kaidah bahasa tersendiri yang telah di simpulkan
oleh para ahli bahasa dalam Al-quran al-karim, sumber-sumber ahli bahasa Arab,
hadist nabawi dan dari penuturan orang-orang arab yang dapat di jadikan
rujukan, baik berupa puisi maupun prosa.[3]Di katakan
Ibnul Anbari sendiri telah menyusun suatu kitab yang terdiri dari 2 jilid yang
secara khusus membahas dhamir-dhamir yang terdapat dalam al-quran.
Pada dasarnya, dhamir diletakkan untuk
mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk mengganti penyebutan kata-kata yang
banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang
dimaksud dan tanpa pengulangan.
Ibnu Malik dalam kitabnya At-tashil menyatakan
“penjelas Dhamir gha’ib itu harus di dahulukan. Tempat kembali dhamir gho’ib
itu ialah lafadz yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunjukan
lain. Terkadang tempat kembali dhamir
itu di jelaskan lafadznya dan terkadang tidak di jelaskan karena ada indicator,
baik indrawi maupun yang di ketahui melalui penalaran, atau dengan menyebut
bagian marja’,keseluruhannya, imbangannya atau yang menyertainya, dalam bentuk
apapun juga.”
Contoh surat al-maidah ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Dhamir huwa di sini kembali pada keadilan, al-‘adlu yang
terkandung dalam lafadz I’dilu. Jadi, makna ayat keadilan itu lebih dekat
kepada ketakwaan.
Marja’ dhamir kadang-kadang terletak sesudah lafadz dhamir itu
sendiri, namun hanya dalam pengucapannya saja, seperti” فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى (Thaha:67).
Marja’ sendiri adakalanya dapat di fahami dari kontek
kalimat, seperti pada “كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(ar-Rahman:26) yang di maksud عَلَيْهَا
dalam ayat ini adalah ‘ala al-ardhi. Adapun contoh yang lain أَمْ يَقُولُونَ
افْتَرَاهُ (Hud:13). Dhamir
“wawu” pada lafadz يَقُولُون kembali pada “orang-orang musyrik, dan dhamir fa’il lafadz افْتَرَاهُ
kembali pada nabi Muhammad, dan dhamir maf’ul kembali pada al-quran.
Dhamir terkadang juga kembali pada lafadz , bukan
kepada makna, seperti dalam firmannya وَمَا يُعَمَّرُ
مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ(Fathir:11) dhamir pada umurihi kembali
pada lafadz mu’ammar nammun yang di maksud adalah mu’amar yang lain. Al-Fara’
bekata: yang dimaksud adalah mu’ammar yang lain, bukan mu’amar yang pertama.
Tetapi di kinayahka dengan dhamir seakan-akan ia adalah mu’ammar yang pertama.
Karena lafadz yang kedua jika di tampakkan maka sama dengan lafadz yang
pertama, seakan-akan berbunyi وَلا يُنْقَصُ مُعَمَّرٍ
مِنْ عُمُرِه. Jadi, kinayah[4]
dhamir pada min ‘umurihi kembali pada lafadz mu’ammar yang lain, bukan mu’amar
yang pertama.
2. Isim Ma’rifah dan Nakirah
dalam ilmu nahwu di katakana
bahwa Isim nakirah adalah kata yang menunjukkan suatu hal atau benda yang
bersifat tidak tentu (bersifat umum). Sedangkan isim ma’rifah merupakan
kebalikan dari isim nakirah, yaitu kata yang menunjukkan suatu hal atau benda
yang bersifat khusus. Adapun isim-isim yang termasuk dalam kategori isim
ma’rifah adalah isim dlomir, isim ‘alam, isim isyarah, isim maushul, isim yang
kemasukan Al -Ta’rif, isim yang disandarkan
pada kata lain (idlafah), dan isim munãdã.
Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa
fungsi, di antaranya:
1.
untuk menunjukan satu, seperti pada : وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ
يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ(yasin:20). “Rajulun” maksudnya
adalah seseorang laki-laki.
2.
untuk menunjukan jenis, seperti وَلَتَجِدَنَّهُمْ
أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ
(al-baqoroh:96) yakni suatu macam kehidupan dengan bekerja keras menuntut
tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau
masa sekarang.
3.
Untuk
menunjukkan arti banyak dan melimpah seperti pada ayat:” aina lana la ajran”
(asy-syu’ara’:41). Ajran disini maksudnya
upah yang melimpah.
4.
Untuk
meremehkan dan merendahkan ,misalnya “min ayyi syain kholaqah” ‘abasa:18) yakni
diciptakan dari sesuatu yang hina atau rendah.
5.
Untuk
menyatakan sedikit, kecil seperti ayat:wa’dallahu al mu’minina wa al mu’minati
jannatin tajri min tahtihal anharu kholidina fiha wa masakina thoyyibatan fi
jannati ‘adnin wa ridwan minallahi akbar” (al-Taubah:72) maksudnya keridaan
yang sedikit dari Allah itu lebih besar nilainya dari pada surga karena
keridaan itu pangkal segala kebahagiaan.
Adapun penggunaan isim ma’rifat
mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan jenis dan macamnya:
1.
Dengan
dlomir (kata ganti) bik dlomir mutakallim , mukhotom maupun ghoib.
2.
Dengan
isim alam (nama), berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam benak
pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, menghormati, memulyakan
seperti pada ayat “muhammadurrosulullah” (al-Fath:29).
3.
Dengan
menggunakan isim isyaroh (kata tunjuk) untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang
ditunjuk itu dekat seperti lafadl “hada” atau enjlaskan keadaannya dengan
menggunakan isyarat tunjuk jauh seperti lafal “wa’ulaika” atau dengan maksud
menghinakanmaka menggunajkan isim isyarat dekat “hadihi” atau dengan maksud
memulyakan dengan memakai isim isyaroh jauh seprti “dalika” atau mengingatan
(tanbih) bahwa sesuatu yang diisyrahkan itu sangat layak dengan sifat yang
disebutkan sesudah isim isyarah tersebut.
4.
Pema’rifatabn
dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi karena tidak disukainya
menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya
kata disebabkan hal lain
5.
Makrifat
dengan ‘al berguna untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui,karena telah disebutkan ma’hud dzikri atau menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui bagi benak pendengar
seperti :laqad radliyallahu anil mu’minin id yubayyiunaka tahta
asysyajarah”atau nutuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena kehadirannya
pada saat itu.
6. Lafazh yang Diduga Sinonim
Banyak sekali kata-kata di dalam
al-qur’an yang diduga sinonim, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.
Namun, karena samarnya kedua kata-kata tersebut para ulama’ hampir tidak bisa
membedakan di mana letak perbedaannya. Diantaranya adalah ‘’al-khauf’’ dan ‘’al-khasyyah’’
( takut ). Ma’na ‘’al-khasyyah’’ lebih
tinggi dari pada ‘’al-khauf,’’ karena al-khassyah diambil dari kata-kata ‘’syajarah
khasyyah’’ artinya pohon yang kering. Jadi, arti al-khasyyah adalah rasa
takut yang sangat. Sedangkan ‘’al-khauf’’ berasal dari kata-kata ‘’naqah
khaufa,’’ artinya onta betina yang berpenyakit, yakni mengandung
kekurangan. Disamping itu, ‘’al-khasyyah’’ ialah rsa takut yang timbul
karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu
seorang yang kuat. Dengan demikian, al-khasyyah adalah al-khauf atau rasa takut
yang disertai rasa hormat ( ta’zhim ). Sedangkan al-khauf adalah rasa takut
yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut karena pihak yang ditakuti
itu remeh. Akar kata, al-khasyyah terdiri atas kha’, syin dan ya’,
didalam tasrifannya menunjukkan sifat keagungan dan kebesaran. Seperti
‘’asy-syaikh’’, yang berarti as-sayyid al-kabir ( pemimpin besar ), dan ‘’al-khaisy’’
( al-ghalizh min al-libas ), artinya pakaian yang kasar. Oleh karena itu, kata
‘’al-khasyyah’’ sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti
dalam ayat, ‘’ innama yakhasyallaha min ‘ibadihi al-ulama’’( Fatir: 28 )
‘’ dan ‘’al-alladzina yuballighuna risaalatillahi wa yakhsyaunallaha wa la
yakhsyauna ahadanillallah.’’( Al-ahzab: 39 ). Adapun dalam ayat ‘’ yakhafuna rabbahum
min fauqihim…’’ ( An-Nahl: 50 ), khauf disini untuk menyifati para malaikat
sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata al-khauf
disini untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat itu besar –besar dan
kuat tetapi dihadapan Allah mereka lemah. Ungkapan ini disambung dengan ‘’
fauqahum’’ yang berarti Allah itu diatas mereka , hal ini menujjukan akan
kebesaran-Nya. Dengan demikian, terkumpullah dua unsur ma’na yang terkadung
oleh ‘’al-khasyyah’’ tanpa merusak arti kehebatan para malaikat, yaitu ‘’khauf’’
dan penghormatan mereka kepada Tuhan.
Demikian juga lafazh ‘’ asy-syuh’’
dan ‘’al-bukhl’’( kikir ). Arti lafazh pertama lebih berat dari lafazh
kedua, karena pada umumnya asy-syuh adalah al-bukhl atau kikir yang
disertai ketamakan.
Juga lafazh ‘’ as-sabil’’ dan ‘’ath-thariq’’(
jalan ). Yang pertama ( as-sabil ) banyak dipakai pada kebaikan sedang
kedua hampir tidak pernah dipakai kebaikan kecuali bila disertai sifat atau
penjelasan yang menunujukkan makna yang dimaksud. Misalnya dalam ayat, ‘’
yahdi ila al-haqwa ila thariq mustaqim.’’ ( al- ahqaf:30 ). Menurut ar-raghib
dalam mufradatnya, ‘’ as-sabil’’
adalah ‘’ ath-thariq atau
jalan yang didalamnya terdapat kemudahan . ia lebih spesifik dari pada ‘’
ath-thariq.’’
Kemudian, lafazh ‘’ madda’’ dan ‘’amadda’’.
Menurut ar-raghib, kata ‘’ imdad’’ banyak dipakai dalam hal yang disenangi,
disukai, seperti pada ayat,’’ wa amdadnahum bi fakihah’’ ( ath-thur:22 ).
Sedangkan ‘’madda dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi, misalnya ‘’
wanamuddu lahu min al-‘azabi madda’’ ( maryam: 79 ).
4. Pertanyaan dan Jawaban
Dalam kehidupan sehari-hari selalu
saja ada dan tidak mungkin bisa dihindari kedua hal ini, yaitu persoalan tanya
jawab. Bertanya merupakan meminta penjelasan atau informasi karena
ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu. Sedangkan jawaban merupakan
penjelasan dari sesuatu yang ditanyakan dengan maksud agar dapat memberi kabar
atau informasi terhadap si penanya tersebut. Di dalam al-qur’an terdapat banyak
sekali redaksi ayat yang berisi tentang pertanyaan maupun jawaban. Ada kalanya
meminta jawaban, ataupun pertanyaan yang berisi penegasan pada suatu masalah.
Bahkan ada yang berbentuk sindiran kepada mukhatabnya.
Pada
dasarnya, jawaban itu hendaklah sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia
menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan, sebagai peringatan bahwa
jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.
Jawaban seperti itu disebut uslub al-hakim ( cara yang bijak ). Sebagai
contoh firman Allah Ta’ala, ‘’ Yas’ alunaka ‘anil ahillah, kul hiya mawaqitu
linnasi wal hajj’’ ( al-baqarah: 189 ). Mereka menanyakan kepada Rasulullah
tentang bulan, mengapa semua ini Nampak kecil seperti benang, kemudian
bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi
terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada
mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya , untuk mengingatkan mereka bahwa
yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka
tanyakan itu.
Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa
ditanyakan, karena memang hal itu dipandang perlu. Misalnya ayat,
‘’qulillahu yunajjikum minha wamin kulli karbin’’( al-an’am: 63 ). Untuk
menjawab suatu pertanyaan dalam, ‘’ man yunajjikum min zhulumat al-barrwa
al-bahr’’( al-an’am: 36 ).
Terkadang pula jawaban itu lebih sempit
lingkupnya dari pertanyaan, karena tunutunan situasi, seperti ayat ‘’ Qul ma
yakunu lian ubaddillahucmin tilqa’I nafsi ‘’( Yunus; 15 ) sebagai jawaban
ayat yang sama. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada
menciptakan. Jika mengganti sja tidak mampu tentu menciptakan tidak mampu lagi.
Apabila lafazh yang berisi pertayaan atau
permintaan yang dipakai untuk memakai sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’adi
kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu
‘’an’’ seperti ‘’wa yas’alunaka ‘an ar-ruh’’( Al-israa’: 85 ).
Dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau sesuatu yang serupa, ia mutta’addi
kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu
‘’min,’’ seperti ‘’ was’alu maanfaqtum ‘’( Al-Mumtahanah: 15 ), dan
‘’was’alullah min fadhlih’’ ( An-Nisa’: 32 ).
4.
Pemakaian Kata Benda dan Kata Kerja
Jumlah
ismiyyah ( kailmat yang menggunkan kata benda
) menunujukkan arti tsubut ( tetap ) dan
istimrar ( terus-menerus
). Sedangkan jumlah fi’ilnyyah ( kalimat yang menggunakan kata kerja )
menunjukkan arti tajaddud ( baru ) dan huduts ( temporal ).
Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bias ditempati
oleh yang lain. Misalnya, tentang infaq yang digunakan dengan jumlah fi’liyah,
seperti dalam ayat, ‘’ Alladzina yunfiquna fi as-sarra’ wa ad-dharra’ ‘’ (
Al-Imran: 134 ). Tidak diungkapkan dengan menggunakan kata ‘’ al-munfiqun.’’
Akan tetapi, dalam masalah keimanan
digunakan jumlah ismiyah, seperti dalam ‘’ Innama al-mu’minuna
al-ladzina amanu billah wa rasulihi’’( Al-Hujurat: 15 ). Penggunakan itu
disebabkan, karena infaq misalnya merupakan suatu perbuatan yang bersifat
temporal, terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan.
Ia mempunyai hakekat yang tetap berlangsung selama hal yang menghendakinya
masih ada.
Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il
madhi ( kata kerja masa lampau ), ialah perbuatan itu timbul tenggelam, kadang
ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudhari’ kata kerja masa kini
atau masa akan datang ), perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata
kerja yang tidak dinyatakan secara jelas, sama halnya dengan fi’il yang
dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama’ berpendapat, ucapan salam yang
disampaikan oleh Ibrahim Alaihissalam dalam Adz-Dzariyat: 25 lebih
mengena ( ablagh ) dari pada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim ‘’ Idz
dakhalu’ alaihi faqafu salan.’’ Kata
‘’ salaman ‘’ dinashabkan karena ia mashdar yang menggantikan fi’il.
Asalnya, ‘’ Nusallimu alaika salaman. ‘’
Ungkapan ini menujukkan bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi
saat itu. Berbeda dengan jawabannya, ‘’ qala salamun, ‘’ lafazh ‘’
salamun ‘’ dirafa’kan karena menjadi mubtada’ ( subyek ) yang khabar (
predikat )nya tidak disebutkan, seperti; alaikum salam, yang menunjukkan
tetapnya salam. Disini tampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan
cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya, demi melaksanakan
etika yang diajarkan Allah subhanahu wa Ta’ala,disamping juga merupakan
penghormatan Ibrahim kepada mereka.
5.
Pertanyaan dan Jawaban
Dalam kehidupan sehari-hari selalu saja ada dan tidak mungkin bisa
dihindari kedua hal ini, yaitu persoalan tanya jawab. Bertanya merupakan
meminta penjelasan atau informasi karena ketidaktahuan seseorang terhadap
sesuatu. Sedangkan jawaban merupakan penjelasan dari sesuatu yang ditanyakan
dengan maksud agar dapat memberi kabar atau informasi terhadap si penanya tersebut.
Di dalam al-qur’an terdapat banyak sekali redaksi ayat yang berisi tentang
pertanyaan maupun jawaban. Ada kalanya meminta jawaban, ataupun pertanyaan yang
berisi penegasan pada suatu masalah. Bahkan ada yang berbentuk sindiran kepada
mukhatabnya.
Pada
dasarnya, jawaban itu hendaklah sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia
menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan, sebagai peringatan bahwa
jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.
Jawaban seperti itu disebut uslub al-hakim ( cara yang bijak ). Sebagai
contoh firman Allah Ta’ala, ‘’ Yas’ alunaka ‘anil ahillah, kul hiya mawaqitu
linnasi wal hajj’’ ( al-baqarah: 189 ). Mereka menanyakan kepada Rasulullah
tentang bulan, mengapa semua ini Nampak kecil seperti benang, kemudian
bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi
terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada
mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya , untuk mengingatkan mereka bahwa
yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka
tanyakan itu.
Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa
ditanyakan, karena memang hal itu dipandang perlu. Misalnya ayat,
‘’qulillahu yunajjikum minha wamin kulli karbin’’( al-an’am: 63 ). Untuk
menjawab suatu pertanyaan dalam, ‘’ man yunajjikum min zhulumat al-barrwa
al-bahr’’( al-an’am: 36 ).
Terkadang pula jawaban itu lebih sempit
lingkupnya dari pertanyaan, karena tunutunan situasi, seperti ayat ‘’ Qul ma
yakunu lian ubaddillahucmin tilqa’I nafsi ‘’( Yunus; 15 ) sebagai jawaban
ayat yang sama. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada
menciptakan. Jika mengganti sja tidak mampu tentu menciptakan tidak mampu lagi.
Apabila lafazh yang berisi pertayaan atau
permintaan yang dipakai untuk memakai sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’adi
kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu
‘’an’’ seperti ‘’wa yas’alunaka ‘an ar-ruh’’( Al-israa’: 85 ).
Dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau sesuatu yang serupa, ia mutta’addi
kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu
‘’min,’’ seperti ‘’ was’alu maanfaqtum ‘’( Al-Mumtahanah: 15 ), dan
‘’was’alullah min fadhlih’’ ( An-Nisa’: 32 ).
6.
Masalah Athaf
Athaf merupakan salah satu kaidah
yang berfungsi sebagai penggabung dua kata atau lebih.
Athaf ( العطف ) terbagi menjadi tiga macam:
1.
Athaf’alal lafzhi(
athaf kepada lafazh ), dan inilah yang pokok bagi athaf.
2.
Athaf’alal
mahal ( athaf kepada mahal ) atau
kedudukan kata. Al-Kisa’I member contoh dalam ( Al-Maa’idah: 69 ). Menurutnya,
lafazh ‘’as-shabi’un’’ di athakan kepada mahallinna dan isimnya yang kedudukannya adalah marfu’
karena permulaan kalimah ( mubtada’ ).
3.
Athaf
‘alal ma’na ( athaf kepada
makna ). Misalnya dalam ( Al-Munafiqun: 10 ). Menurut qira’ah selain Abu Amru,
lafazh ‘’ akun’’ dijazamkan. Tetapi bagi Al-Khalil dan Sibawaih,
lafazh tersebut diathafkan kepada sesuatu yang dianggap ada
4.
( tawahhum)
karena makna ‘’ law la akhkhartani fa ashshaddaqa ‘’ dengan ‘’
akharani ashshaddaqa ‘’ adalah sama . seakan-akan dikatakan, ‘’ In
akhkhartani ashshaddaqa wa akun…’’ Demikian pula Al-Farisi menyatakan
demikian untuk qira’ah qunbul ‘’ Innahu man yattaqi wa yashbir’’ (
Yunus: 90 ) dengan mensukunkan huruf ra’
sebab ‘’man’’ maushul mengandung makna syarat.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengathafkan
khabar ( kalimat berita ) kepada insya’ ( bukan kalimat berita ) dan
sebaliknya. Sebagian besar mereka tidak membolehkan, sedangkan golongan lain
membilehkannya, dengan dalil ayat ‘’ wa basysyir al-mu’minun’’ sama maknanya dengan ‘’ tu’minun’’
dalam ayat sebelumya ( Ash-Shaf: 13 ). Golongan yang tidak membolehkan
mengatakan, lafazh ‘’tu’minun’’ sama maknanya dengan ‘’ amanu’’
ia adalah kalimat khabar yang berma’na insya’. Maka, mengathafkan kalimat insya’
seperti ‘’wabasysyir’’ kepadanya ini adalah benar. Seakan-akan dikatakan
‘’ Beriman dan berjihadlah, pasti Allah akan memantapkan dan menolongmu. Dan
berilah kabar gembira, wahai Rasulullah, kepada orang-orang beriman dengan hal
itu. ‘’ faedah menggunkan kalimat khabar ditempat kalimat perintah, yakni ‘’
imtatsil’’ ( taatilah ). Karenanya member tahukan tentang keimanan dan
ijtihad yang sudah ada.
7.
Mufrad dan jamak
Secara
etimologi kata mufrad merupakan kata yang bermakna tunggal, sedangkan kata
jama’ adalah kebalikannya yang berarti banyak. Namun, jika dipandang dari segi
terminologi, kata mufrad adalah kata yang bermakna satu. Dan kata jama’ adalah
kata yang bermakna yang bermakna tiga atau lebih.[5]
Sebagian lafadz al qur’an terkadang
dimufradkan untuk menunjuk pada suatu makna tertentu, dan dijamakkan untuk
menunjuk pada isyarat khusus, atau terkadang jamak lebih diutamakan dari pada
mufrad atau sebaliknya. Karena itu sering kita jumpai dalam alqur’an sebagian
lafadz yang hanya berbentuk jamak,
ketika diperlukan bentuk mufradnya maa yang digunakan adalah kata sinonimnya.
Sebaliknya ada sejumlah lafadz yang hanya ditulis dalam bentuk mufradnya di
setiap tempat dalam Al Qur’an. Dn ketika hendak dijamakkan, iadjamakkan dalam
bentuk yang menarik yang tiada bandingannya,
Termasuk kelompok ini ialah lafadz as
sama’, ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk
mufrad, sesuai dengan keperluan. Jika yang dimasukkan adalah “bilangan” maka ia
didatangkan dalam bentuk jamak (samawat) yang menunjukkan betapa sangat besar
dan luasnya, seperti terdapat dalam (alhasyr: 1). Dan jika yang dimasukkan
adalah “arah”, maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti dalam surah al-mulk: 6.
Lafadz “ar-rih” juga sama, ia disebutkan
dalam bentuk jamak dan mufrad. Bentuk jamak (ar-riah) dipakai dalam konteks
adanya rahmat, sedang bentuk mufrad dalam konteks yang berhubungan dengan
adzab. Disebutkan, hikmahnya ialah bahwa “ar-riah” atau angin rahmat itu bermacam-macam sifat dan manfaatnya yang
terkadan sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain, diantaranya ada
angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karenaitu dalam
konteks rahmat ini dijamakkan. Sedang konteks yang berhubungan dengan adzab,
maka angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang dan menolaknya.
Demikian
juga lafadz “an-nur” yang senantiasa dimufradkan, tetapi lafadz “azh-zhulumat”
senantiasa berbentuk jamak. Juga lafadz “sabil al-haqq”, selalu dimufradkan dan
jalan kebatilan selalu dijamakkan (subul). Kebatilan banyak sekali,
bercabang-cabang. Karena itu lafadz “waliyyu al-mu’minin”dimufradkan, dan
“auliya’ al-kafirin” dijamakkan.
Tak
terkecuali lafadz “al- masyiriq” dan al-maghrib”. Keduanya disebutkan dalam
bentuk mufrad, mutsanna dan jamak. Pemakaian bentuk mufrad karena mengingat
arahnya dan untuk mengisyaratkan kea rah timur dan barat, seperti dalam
Al-Muzzammil: 9. Bentuk mutsanna, musim dingin dan musim panas, seperti dalam
ayat Ar Rahman:17. Bentuk jamak digunakan terhadap keduanya, Karena menjadi
tempat terbit dan terbenam disetiap musim.
Daftar Pustaka
al
Qhaththan,manna,pengantar studi ulumul Qur’an,Pustaka al-Kautsar:Jakarta
Timur, 2013
Amin
suma,Muhammad,Ulumul Quran,PT. Raja Grafindo persada: Jakarta,2013
warson munawir,Ahamd,al-munawwir: kamus arab indonesia,yogyakarta:Pondok Pesantren al-munawair,
2012
[1]Ahmad warson munawir,al-munawwir: kamus
arab indonesia (yogyakarta:Pondok Pesantren al-munawair,t,t) hlm 1224
[2]Prof.Dr.H.Muhammad
Amin Suma,Ulumul Qur’an(PT.Raja Grafindo Persada,2013),hlm.418
[3] Mana’ al-Qathan hlm 241
[4]
Kinayah yaitu istilah untuk penyebutan sesuatu tetapi yang dimaksudkan sesuatu
yang lain.
[5]Depag, 129
0 komentar:
Posting Komentar