tafsir, ta'wil dan terjemah

on Kamis, 22 Mei 2014


A.    Definisi Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il” yang mempunyai arti menjelaskan, menyingkap, menerangkan makana-makna rasional. Kata kerjanya sendiri mengikuti wazan “dharaba- yadribu” dan nasara yansuru”. Jadi tasrifnya sendiri adalah “ fasara yafsuru fasran”. Yang mempunyai arti menjelaskan. Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisanul ‘Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkap maksud suatu lafadz yang muskil.[1]
            Sedangkan tafsir secara istilah seperti yang di nukil oleh abu hayyan mendefinisikan Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Quran, indicator-indikatornya. Masalah hukum-hukmnya baik yang idependen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengakpinya.[2] Dan banyak sekali ulama’ yang berbeda pendapat tentang definisi tafsir di antaranya:
  1. Menurut Syekh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut.[3]
2.      Menurut Az-Zakkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.

B.     Sejarah Perkembangan Tafsir
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sedangkan pekembangan tafsir sendiri terbagi menjadi 4 priode :
1.      Periode pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.


2.      Periode kedua Tafsir Pada Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
3.      Periode Ketiga Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
4.      Periode Keempat Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
a.       Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
b.       Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
c.        Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
d.      Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.
e.       Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.


A.    Pengertian Ta’wil
Menurut bahasa takwil adalah menerangkan dan menjelaskan.[4] Adapun pengertian takwil menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
1.      Menurut  Al-Jurzani takwil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
2.       Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.[5]
3.       Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafazh.[6]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan takwil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
A.    Pengertian Terjemah
Terjemah berasal dari bahasa Arab yang berarti memindahkan makna lafal ke dalam bahasa lain. Menurut pengertian istilah ialah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain, dengan kata lain terjemah memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.[7]
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani, Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1.       Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2.      Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
    Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.[8]
B.     Urgensi Terjemah 
Seorang pakar ilmu kelautan Prancis yang bernama Cikarto, dia bisa masuk Islam Hanya karena perantara membaca qur’an terjemah bahasa prancis. Dia telah menjelajahi seluruh lautan di dunia ini, dan setiap dia ganti laut, airnya tidak bisa bercampur, setelah itu dia membaca al-qur’an terjemah bahasa Prancis dari surat ar-rahman ayat 19-20, yan berbunyi:

مرج البحرين يلتقيان (19) بينهما برزخ لايبعيان20 (

Dia membiarkan dua laut menalir kemudian keduanya bertemu, diantara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”.
Setelah itu dia sadar, bahwa seluruh kejadian alam di dunia ini telah di terangkan semua dalam al-qur’an, dan akhirnya dia masuk islam.[9]

Adapun manfaat lainnya banyak sekali, diantaranya :
1.       Membantu dalam menghafal al-Quran. Karena salah satu metode menghafal yang paling efektif dan sudah teruji (diakui oleh para penghafal al-Quran) adalah dengan memahami terlebih dahulu arti ayat yang akan dihafal.
2.       Mempelajari bahasa arab terutama dalam menambah kosa kata yang bersumber dari al-Quran.
   


[1] Mana’ Al-Qaththan, terj. Aunur Rafiq El-Mazani, pengantar studi ilmu al-quran, ( Jakarta timur: pustaka al-kautsar, 2013) hlm 408
[2] Ibid, 409
[3] Hasbi Ashiddieqy, Sejarah  dan Pengantar ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan bintang, jakarta, 1989, hlm. 193

[5] Rosihun Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 209
[6] Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1987, hlm. 172
[7] http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/07/tafsir-tawil-dan-terjemah-2/15/05/2014
[8] Mana’ Al-Qaththan, Op.cit, hlm 397
[9] http://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/11/terjemah-al-quran/15/05/2014

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman