PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab suci, ternyata tidak hanya
mengandung ayat-ayat yang berdimensi aqidah, syari'ah dan akhlaq semata, akan
tetapi juga memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan (sains). Jika kita membaca Al-Qur'an secara seksama, akan kita
temukan sangat banyak ayat-ayat yang mengajak kepada manusia untuk bersikap
ilmiah, berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kebebasan
akal untuk berpikir. Al-Qur'an selalu mengajak manusia untuk melihat, membaca,
memperhatikan, memikirkan, mengkaji serta memahami dari setiap fenomena yang
ada terlebih lagi terhadap fenomena-fenomena alam semesta yang perlu
mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa dikembangkan sains dan
teknologi untuk perkembangan umat manusia dan dengan itu pula akan didapatkan
pemahaman yang utuh dan lengkap.
Al-Qur’an yang notabenenya menjelaskan segala hal, secara tersurat
maupun tersirat telah banyak menyinggung fenomema alam (dhawahir al-‘alam), Dan
itu jauh masanya sebelum manusia diera ini mengenal dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dibidang sains (science). Sebagai contoh ayat yang menceritakan
tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan, pertama ia
melihat bintang dimalam hari, lalu melihat bulan dan kemudian melihat matahari,
Allah SWT. memperlihatkan fenomena alam tersebut kepada Nabi Ibrahim tidak lain
hanya agar supaya ia mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. atas segala
sesuatu.
Adapun terhadap ayat-ayat kawniyyah
dari ayat-ayat al-Qur’an, memang tidak ada yang secara tegas dan khusus
ditujukan kepada para ilmuwan untuk mengkaji, namun pada hakikatnya, mereka
inilah yang diharapkan untuk terjun melakukan penelitian dan mengkaji serta
memahami makna-makna yang tersurat dan yang tersirat dari ayat-ayat kawniyyah.
Karena hanya orang-orang yang ahli dan mempunyai saran serta kompetensi dalam
bidangnyalah yang bisa dan mampu untuk menggali secara lebih komprehensif dan
teliti dalam melakukan tugas tersebut sehingga hasil dari kajian dan penelitian
tersebut akan benar-benar memberikan manfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian, besar harapan para
ilmuwan-ilmuwan muslim tergerak dan termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat
al-Qur’an yang berdimensi ilmiah dan berusaha menafsirkan serta menggali makna
yang terkandung di dalamnya serta menjadikannya sebagai inspirasi untuk
menghasilkan penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia dan
dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi ini pula mendorong munculnya
corak baru dalam bidang penafsiran yang dikenal pada saat ini sebagai penafsiran
ilmiah atau Tafsir 'Ilmi (Sciences Exegesis) yang cukup banyak menarik
perhatian para intelektual muslim dan permasalahan (Tafsir Ilmi) ini pula yang
akan menjadi pokok pembahasan penulis dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud dengan Tafsir Ilmi?
2.
Bagaimana pendapat ulama tentang Tafsir Ilmi?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Memberi pengetahuan kepada pembaca
tentang definisi Tafsir Ilmi sendiri
2. Mengetahui pandangan ulama tentang
tafsir Ilmi.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tafsir Ilmi
Ilmu tafsir terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Ilmu tafsir
muncul dengan corak dan ragam latar belakang pendidikan para mufasir. Dalam
perkembangan muncul corak tafsir fiqhi, falsafi, shûfi, adab al-ijtimâ’î, dan
lain-lain. Pada masa belakangan ini mencuat suatu model tafsir baru yaitu yang
dikenal dengan tafsîr ‘ilmî.
Tafsîr ‘ilmî secara sederhana dapat dipahami sebagai tafsir yang di
dalamnya dilibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari sisi hakikat maupun
teori- teorinya untuk menjelaskan tujuan- tujuan serta makna-makna lafal-lafal
al-Qur’ân. Ilmu pengetahuan yang digunakan seperti ilmu fisika, astronomi,
geologi, kimia, biologi yang menyangkut hewan, ilmu medis, anatomi, fisiologi,
ilmu matematika dan sejenisnya. Selain itu, ada ulama yang juga memasukkan ilmu
humanisme dan sosial, seperti ilmu psikologi, ekonomi, geografi dan lain-lain.
Biasanya, yang semangat melaksanakan dan mempunyai kepedulian tinggi terhadap
pola tafsir ini adalah pakar-pakar ilmu-ilmu alam (fisika dan biologi), karena
mereka ingin mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya. Sedangkan dari
kalangan ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan
penafsiran ilmiah.[1]
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah
Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi
Jauhari
B.
Pro-kontra Tafsir Ilmi
Sebagai produk baru, tafsîr ‘ilmî tidak lepas dari dukungan dan
kritikan para ulama. Terdapat ulama yang pro (membolehkan) dan kontra
(melarang) terhadap keberadaan tafsîr ‘ilmî tersebut. Menurut Yûsuf
al-Qarâdhawiy, para ahli agama dan syariat berbeda pendapat tentang validitas
visi penafsiran ilmiah ini. Terdapat tiga kelompok berkenaan dengan tafsir
ilmi.
1.
kelompok
yang mendukung keberadaan tafsir ilmi.
2.
kelompok
yang menolak.
3.
kelompok
moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang
bertolakbelakang secara diametral di atas.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi
adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an
dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan
zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang
wajar dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka
tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa
kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak
belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi
adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an
dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan
zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang
wajar dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka
tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa
kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak
belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama Islam berkaitan langsung
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu
geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan
lain sebagainya.Kelompok pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut
Al-Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang
telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Kelompok ini mendasarkan
pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah
menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt. menurunkan Al-Kitab
untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.
Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi
Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan
tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua
sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya,
tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup
seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini,
terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat
al-Qur’an.Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an
karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah,
ishlah, dan tasyri’.
Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan
tengah di antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di atas.Bagi kelompok ini,
pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu,
adalah argumen yang dilebih-lebihkan.Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak
terbatas, persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam
al-Qur’an?Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti
lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?
Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat
Islam yang hidup di zaman ini tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana
pemahaman sahabat dan orang-orang terdahulu. Sementara itu di sisi lain,
al-Qur’an memerintahkan setiap muslim mempergunakan akal pikirannya serta
merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua atau nenek moyangnya.
Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat dimasukkan dalam kategori
ketiga ini.
Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan
diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi
tiga syarat berikut ini.Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah
kebahasaan.Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika
menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah
bahasa Arab.Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai
dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga
harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.
Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat).Selain
menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk
memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya.Hal
ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi
turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga
kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang
berikutnya.
Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan.Sebagaimana
diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara
mutlak.Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik
dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah
sekalipun.Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang
tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima.Dan, bila diperhatikan secara
seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran
mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu
alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.
C.
Para Mufasir Kalangan Ilmuan
1.
Fakhruddin Ar-Razi
Muhammad bin Umar bin Al-Hasan At-Tamimi Al-Bakri
At-Tabaristani Ar-Razi Fakruddin, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnu
Al-Khatib Asy-Syafi’I Al-Faqih.[2]
Dilahrkan di Ray pada 543 H. dan wafat di Harah pada 606 H.
beliau mempelajari ilmu-ilmu Naqliyah dan ilmu-ilmu rasional, selain itu beliau
juga menguasai Ilmu Logika, Filsafat dan ilmu kalam. dari bidang-bidang ilmu
tersebut lahirlah beberapa kitab. Sehingga beliau dipandang sebagai filusuf
pada masanya, dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi para filusuf
muslim. Diantara karya-karya Tafsir Fakhruddin Ar-Razi yang paling terkenal
adalah mafatih Al-Ghaib, Asrar At-Tanzil wa Anwar At-Takwil .
A.
Corak Tafsir Fakhruddin Ar-Razi
Ilmu-ilmu rasional sangat dominan di
dalam karya-karyanya. Beliau mempercampuradukan berbagai kajian dalam tafsirnya
diantaranya kedokteran, logika, filsafat dan hikmah. Semua itu yang
mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna yang dikandung Al-Qur’an dan
lebih cendrung masuk kedalam persoalan rasional dan terminology ilmiah. Oleh
sebab itu kitab tersebut tidak mempunyai jiwa tafsir dan hidayah Islam.
2.
Thanthawi Jauhari
Thanthawi Jauhari
adalah ulama moderat yang dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim
asal Mesir yang kesohor karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan untuk
menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan.[3]Beliau
dilahirkan pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, wafat tahun 1940.[4]
Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun demikian kondisi sosial
tersebut tidaklah menyurutkan keinginannya untuk terus memperdalam ilmu
pengetahuan khususnya kajian keislaman, sehingga kabanyakan waktunya diabdikan
untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguasaan ilmu
pengetahuan.
Orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang
berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan
formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk
mendalami ilmu-ilmu agama. Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seorang
pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi
juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar
pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan
ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah
artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari
beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika.
Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka
anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat ditepis.
Dalam banyak kesempatan, hal yang kerap dikemukakan terkait
harapannya adalah, perlunya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Karena dia berpendapat, secara garis besar, ilmu pengetahuan terbagi dua yakni
ilmu bahasa dan selain bahasa. Thanthawi menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang
peranan signifikan dalam sebuah studi, sebab ia merupakan alat untuk menguasai
beragam bidang ilmu.
Pada bagian lain, Thanthawi pun membina studi Alquran, yakni
guna membuktikan bahwa kitab suci umat Islam itu adalah satu-satunya kitab suci
yang memotivasi pengembangan ilmu. Karena dalam pandangannya, Alquran
senantiasa menganjurkan kepada umat Muslim untuk menuntut ilmu dalam arti
seluas-luasnya. Pernyataan tersebut dikemukakan sambil menunjukkan bukti-bukti
bahwasanya dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memotivasi umat agar
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Adapun Karya Tafsir Thantawi Jauhari yang paling terkenal
adalah Al-Jawahir fii Tafsir al-Qur’an. ini adalah buah karya tafsir
ilmiyah pertama yang pernah diselesaikan secara sempurna. Tafsir ini terdiri
dari dua puluh lima juz.
A.
Corak Tafsir
Jauhari Thantawi
corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir
bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada
yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi
(relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan
bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan
dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق)
terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir
bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq
(علق).
Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya
mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak
mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia
memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis
burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi
pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan
jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang
dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia..
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika
Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh
dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa
memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya
berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an
yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat
mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat
relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia.
Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang
tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai
hudan.
Kesimpulan
1. Tafsîr ‘ilmî secara sederhana dapat dipahami sebagai tafsir yang di
dalamnya dilibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari sisi hakikat maupun
teori- teorinya untuk menjelaskan tujuan- tujuan serta makna-makna lafal-lafal
al-Qur’ân.
2. Terjadi pro-kontra di antara ulama. Sebagian dari mereka ada yang
mendukung penafisran ilmiah. Tetapi ada sebagian ulama yang menolaknya. Ulama
moderat sendiri memilih jalan tengah
3.
Alasan
kelompok yang medukung tafsir ilmi adalah karena tafsir ilmi sebuah keniscayaan
sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan
konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa
bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh
umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama
ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai
pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan
paradigma al-Qur’an sendiri.
Daftar Pustaka
an-Najjar,
Jamal Mustafa Abdul Hamid, Tabaqat wa Ittijahat ta-Tafsiriyah, Cairo,
t.p, t.th
ad-Dzahabi, Muhammad Hussain, At-Tafsir wa al-Mufassirun,
Cairo: Maktabah Wahabah, 2003
al-Qaththnan,
Mana, terj. El-mazan, Aunur Rafiq ,Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,Jakarta
timur:Pustaka Al-Kautsar,2006
al-Qarâdhawiy, Yûsuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’ân al-Karîm,
Beirut:Muassasah al-Risâlah, 2001
[1] Yûsuf
al-Qarâdhawiy, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Muassasah
al-Risâlah, 2001), Cet. 1, h. 211
[2]
Mana al-Qaththnan, terj. Aunur Rafiq El-mazan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta
timur:Pustaka Al-Kautsar,2006) hlm.479
[3] Jamal
Mustafa Abdul Hamid an-Najjar, Tabaqat wa Ittijahat ta-Tafsiriyah,
(Cairo, t.p, t.th), hlm. 258
[4] Muhammad
Hussain ad-Dzahabi , At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Cairo: Maktabah Wahabah,
2003), Vol. II, hlm. 370.
0 komentar:
Posting Komentar