Tafsir Para Ilmuan

on Kamis, 22 Mei 2014


PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab suci, ternyata tidak hanya mengandung ayat-ayat yang berdimensi aqidah, syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Jika kita membaca Al-Qur'an secara seksama, akan kita temukan sangat banyak ayat-ayat yang mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah, berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kebebasan akal untuk berpikir. Al-Qur'an selalu mengajak manusia untuk melihat, membaca, memperhatikan, memikirkan, mengkaji serta memahami dari setiap fenomena yang ada terlebih lagi terhadap fenomena-fenomena alam semesta yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa dikembangkan sains dan teknologi untuk perkembangan umat manusia dan dengan itu pula akan didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap.
Al-Qur’an yang notabenenya menjelaskan segala hal, secara tersurat maupun tersirat telah banyak menyinggung fenomema alam (dhawahir al-‘alam), Dan itu jauh masanya sebelum manusia diera ini mengenal dan mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang sains (science). Sebagai contoh ayat yang menceritakan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan, pertama ia melihat bintang dimalam hari, lalu melihat bulan dan kemudian melihat matahari, Allah SWT. memperlihatkan fenomena alam tersebut kepada Nabi Ibrahim tidak lain hanya agar supaya ia mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. atas segala sesuatu.
Adapun terhadap ayat-ayat kawniyyah dari ayat-ayat al-Qur’an, memang tidak ada yang secara tegas dan khusus ditujukan kepada para ilmuwan untuk mengkaji, namun pada hakikatnya, mereka inilah yang diharapkan untuk terjun melakukan penelitian dan mengkaji serta memahami makna-makna yang tersurat dan yang tersirat dari ayat-ayat kawniyyah. Karena hanya orang-orang yang ahli dan mempunyai saran serta kompetensi dalam bidangnyalah yang bisa dan mampu untuk menggali secara lebih komprehensif dan teliti dalam melakukan tugas tersebut sehingga hasil dari kajian dan penelitian tersebut akan benar-benar memberikan manfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian, besar harapan para ilmuwan-ilmuwan muslim tergerak dan termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang berdimensi ilmiah dan berusaha menafsirkan serta menggali makna yang terkandung di dalamnya serta menjadikannya sebagai inspirasi untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia dan dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi ini pula mendorong munculnya corak baru dalam bidang penafsiran yang dikenal pada saat ini sebagai penafsiran ilmiah atau Tafsir 'Ilmi (Sciences Exegesis) yang cukup banyak menarik perhatian para intelektual muslim dan permasalahan (Tafsir Ilmi) ini pula yang akan menjadi pokok pembahasan penulis dalam makalah ini.

1.2   Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan Tafsir Ilmi?
2.      Bagaimana pendapat ulama tentang Tafsir Ilmi?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Memberi pengetahuan kepada pembaca tentang definisi Tafsir Ilmi sendiri
2.      Mengetahui pandangan ulama tentang tafsir Ilmi.



PEMBAHASAN

A.    Definisi Tafsir Ilmi

Ilmu tafsir terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Ilmu tafsir muncul dengan corak dan ragam latar belakang pendidikan para mufasir. Dalam perkembangan muncul corak tafsir fiqhi, falsafi, shûfi, adab al-ijtimâ’î, dan lain-lain. Pada masa belakangan ini mencuat suatu model tafsir baru yaitu yang dikenal dengan tafsîr ‘ilmî.
Tafsîr ‘ilmî secara sederhana dapat dipahami sebagai tafsir yang di dalamnya dilibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari sisi hakikat maupun teori- teorinya untuk menjelaskan tujuan- tujuan serta makna-makna lafal-lafal al-Qur’ân. Ilmu pengetahuan yang digunakan seperti ilmu fisika, astronomi, geologi, kimia, biologi yang menyangkut hewan, ilmu medis, anatomi, fisiologi, ilmu matematika dan sejenisnya. Selain itu, ada ulama yang juga memasukkan ilmu humanisme dan sosial, seperti ilmu psikologi, ekonomi, geografi dan lain-lain. Biasanya, yang semangat melaksanakan dan mempunyai kepedulian tinggi terhadap pola tafsir ini adalah pakar-pakar ilmu-ilmu alam (fisika dan biologi), karena mereka ingin mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya. Sedangkan dari kalangan ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan penafsiran ilmiah.[1]
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari
B.     Pro-kontra Tafsir Ilmi
Sebagai produk baru, tafsîr ‘ilmî tidak lepas dari dukungan dan kritikan para ulama. Terdapat ulama yang pro (membolehkan) dan kontra (melarang) terhadap keberadaan tafsîr ‘ilmî tersebut. Menurut Yûsuf al-Qarâdhawiy, para ahli agama dan syariat berbeda pendapat tentang validitas visi penafsiran ilmiah ini. Terdapat tiga kelompok berkenaan dengan tafsir ilmi.
1.      kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi.
2.      kelompok yang menolak.
3.      kelompok moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang bertolakbelakang secara diametral di atas.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama Islam berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain sebagainya.Kelompok pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt. menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an.Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan tengah di antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di atas.Bagi kelompok ini, pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu, adalah argumen yang dilebih-lebihkan.Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak terbatas, persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam al-Qur’an?Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?
Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang hidup di zaman ini tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman sahabat dan orang-orang terdahulu. Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an memerintahkan setiap muslim mempergunakan akal pikirannya serta merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua atau nenek moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat dimasukkan dalam kategori ketiga ini.
Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut ini.Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah kebahasaan.Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.
Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat).Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya.Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.
Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan.Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak.Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun.Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima.Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.
C.    Para Mufasir Kalangan Ilmuan

1.      Fakhruddin Ar-Razi
Muhammad bin Umar bin Al-Hasan At-Tamimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-Razi Fakruddin, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Al-Khatib Asy-Syafi’I Al-Faqih.[2]
Dilahrkan di Ray pada 543 H. dan wafat di Harah pada 606 H. beliau mempelajari ilmu-ilmu Naqliyah dan ilmu-ilmu rasional, selain itu beliau juga menguasai Ilmu Logika, Filsafat dan ilmu kalam. dari bidang-bidang ilmu tersebut lahirlah beberapa kitab. Sehingga beliau dipandang sebagai filusuf pada masanya, dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi para filusuf muslim. Diantara karya-karya Tafsir Fakhruddin Ar-Razi yang paling terkenal adalah mafatih Al-Ghaib, Asrar At-Tanzil wa Anwar At-Takwil .
A.    Corak Tafsir Fakhruddin Ar-Razi
Ilmu-ilmu rasional sangat dominan di dalam karya-karyanya. Beliau mempercampuradukan berbagai kajian dalam tafsirnya diantaranya kedokteran, logika, filsafat dan hikmah. Semua itu yang mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna yang dikandung Al-Qur’an dan lebih cendrung masuk kedalam persoalan rasional dan terminology ilmiah. Oleh sebab itu kitab tersebut tidak mempunyai jiwa tafsir dan hidayah Islam.

2.       Thanthawi Jauhari
Thanthawi Jauhari  adalah ulama moderat yang dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang kesohor karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan.[3]Beliau dilahirkan pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, wafat tahun 1940.[4] Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun demikian kondisi sosial tersebut tidaklah menyurutkan keinginannya untuk terus memperdalam ilmu pengetahuan khususnya kajian keislaman, sehingga kabanyakan waktunya diabdikan untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguasaan ilmu pengetahuan.
Orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seorang pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.
Dalam banyak kesempatan, hal yang kerap dikemukakan terkait harapannya adalah, perlunya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena dia berpendapat, secara garis besar, ilmu pengetahuan terbagi dua yakni ilmu bahasa dan selain bahasa. Thanthawi menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang peranan signifikan dalam sebuah studi, sebab ia merupakan alat untuk menguasai beragam bidang ilmu.
Pada bagian lain, Thanthawi pun membina studi Alquran, yakni guna membuktikan bahwa kitab suci umat Islam itu adalah satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Karena dalam pandangannya, Alquran senantiasa menganjurkan kepada umat Muslim untuk menuntut ilmu dalam arti seluas-luasnya. Pernyataan tersebut dikemukakan sambil menunjukkan bukti-bukti bahwasanya dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memotivasi umat agar menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Adapun Karya Tafsir Thantawi Jauhari yang paling terkenal adalah Al-Jawahir fii Tafsir al-Qur’an. ini adalah buah karya tafsir ilmiyah pertama yang pernah diselesaikan secara sempurna. Tafsir ini terdiri dari dua puluh lima juz.

A.     Corak Tafsir Jauhari Thantawi

corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia..
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.

Kesimpulan
1.       Tafsîr ‘ilmî secara sederhana dapat dipahami sebagai tafsir yang di dalamnya dilibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari sisi hakikat maupun teori- teorinya untuk menjelaskan tujuan- tujuan serta makna-makna lafal-lafal al-Qur’ân.
2.       Terjadi pro-kontra di antara ulama. Sebagian dari mereka ada yang mendukung penafisran ilmiah. Tetapi ada sebagian ulama yang menolaknya. Ulama moderat sendiri memilih jalan tengah
3.      Alasan kelompok yang medukung tafsir ilmi adalah karena tafsir ilmi sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.


Daftar Pustaka
an-Najjar, Jamal Mustafa Abdul Hamid, Tabaqat wa Ittijahat ta-Tafsiriyah, Cairo, t.p, t.th
ad-Dzahabi, Muhammad Hussain, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Cairo: Maktabah Wahabah, 2003
al-Qaththnan, Mana, terj. El-mazan, Aunur Rafiq ,Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,Jakarta timur:Pustaka Al-Kautsar,2006
al-Qarâdhawiy, Yûsuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’ân al-Karîm, Beirut:Muassasah al-Risâlah, 2001



[1] Yûsuf al-Qarâdhawiy, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Cet. 1, h. 211
[2] Mana al-Qaththnan, terj. Aunur Rafiq El-mazan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta timur:Pustaka Al-Kautsar,2006) hlm.479
[3] Jamal Mustafa Abdul Hamid an-Najjar, Tabaqat wa Ittijahat ta-Tafsiriyah, (Cairo, t.p, t.th), hlm. 258
[4] Muhammad Hussain ad-Dzahabi , At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Cairo: Maktabah Wahabah, 2003), Vol. II, hlm. 370.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman