Al-Ibriz Tafsir Bahasa Jawa, Arab Pegon, dan
Makna Gandul
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Perkembangan Tafsir Di Indonesia
Dosen Pengampu:
Muhammad Asif, M.Ud.
Oleh:
Syihabuddin
Alwy (2012.01.01.051)
PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2015
I.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
kitab suci yang turun menjadi petunjuk kehidupan bagi umat Islam. Fungsi ini
terus demikian dari sejak zaman nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam
hingga masa di mana umat Islam hidup hari ini. Satu adigium yang selalu
lekat dengan al-Qur’an adalah sifatnya yang Ṣalih li kulli zaman wa makan,
senantiasa kontekstual dalam setiap zaman dan tempat.[1]
Universalitas
al-Qur’an ini bukanlah sebuah produk jadi. Ia perlu diperjuangkan melalui
serangkaian kegiatan ijtihad intelektual yang dinamai dengan “tafsir”. Ilmu
tafsir muncul pada masa nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam kemuadian
berkembang pada masa Sahabat, Tabi’in dan ulama’ setelahnya. Dalam
perkembagan ini, aktivitas menafsiri al-Qur’an memunculkan “warna-warni” corak
dan ragam yang variatif, yang mana muncul berbagai macam bentuk-bentuk tafsir, ada
yang bernuansa fiqh disebut tafsir fiqhi, ada yang bernuansan ilmiah
disebut tafsir ilmi, dan masih banyak bentuk-bentuk yang lain yang mana
dari Fenomena ini selanjutnya dikaji
dalam disiplin ilmu yang disebut “Madzahib al-Tafsir”.
Perkembangan
ilmu tafsir tidak hanya terjadi di dunia Arab saja, melainkan
di Indonesia pun demikian. Para
ulama’ Indonesia, khususnya
ulama’ daerah berusaha menafsirkan al-Qur`an dengan bahasa daerahnya
masing-masing. Melihat tidak semua masyarakat paham akan bahasa Indonesia (Melayu)
dengan baik dan benar. Keprihatinan inilah yang membangkitkan semangat ulama’
lokal daerah untuk menyusun kitab tafsir dengan bahasa daerah masing-masing.
Diantaranya adalah Bisri Mustofa (Rembang) yang menyusun kitab tafsir al-Ibriz
yang mengunakan bahasa Jawa dan penulisannya dengan huruf Arab Pegon.[2]
Kitab al-Ibrîz ini
diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat Jawa khususnya tentang sebuah
kitab tafsir yang mampu mereka fahami dengan mudah. Dalam tulisan ini penulis
berusaha menghadirkan suatu pembahasan tentang karektristik, sejarah, penulisan
ataupun hal yang melatar belakangi penulisan kitab tafsir al-Ibrîz ini
dengan keunikan yang terdapat dalam penulisan tafsir ini.
II.
Bisri Mustofa dan Tafsir al-Ibrîz
A. Biografi Bisri
Mustofa
Bisri Mustofa merupakan satu di antara sedikit ulama Indonesia yang memiliki
karya besar. Bisri
Mustofa adalah pengarang
kitab tafsir al-Ibrîz li Ma’rifah
Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîz.
Kemampuan Bisri Mustofa ini tak lepas
dari perkembangan kehidupan beliau sejak masa kecil hingga menjadi ulama
masyhur.
Bisri Mustofa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada
tahun 1915 dengan nama asli Mashadi (yang kemudian diganti menjadi Bisri
Mustofa setelah menunaikan
ibadah haji). Bisri Mustofa merupakan
putra pertama dari
pasangan H. Zainal
Mustofa dengan isteri keduanya bernama Hj. Chotijah.[3]
Mashadi merupakan putra
pertama dari empat
bersaudara, yaitu : Mashadi, Salamah (Aminah), Misbach, dan
Ma’sum. Selain itu, Bisri Mustofa juga mempunyai beberapa saudara tiri lagi
dari kedua orang tuanya. Pernikahan
ayahnya dengan istri
sebelumnya (Dakilah) mendapatkan
dua orang anak, yakni H. Zuhdi dan Hj. Maskanah. Sedangkan pernikahan
ibunya dengan Dalimin sebelumnya juga dikaruniai dua orang anak, yaitu : Achmad
dan Tasmin.
Di usianya yang kedua puluh, Bisri Mustofa dinikahkan oleh gurunya yakni
KH. Cholil dari Kasingan (tetangga Pesawahan) dengan seorang gadis bernama
Ma’rufah yang tidak lain adalah putri KH. Cholil sendiri. Dari pernikahannya
ini, Bisri Mustofa dikaruniai delapan orang anak, yakni Cholil, Musthofa,
Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Dua orang putra yakni
Cholil (Cholil Bisri) dan Musthofa ( Musthofa Bisri) mungkin yang paling
familiar dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan pondok pesantren.[4]
Seiring pejalanan waktu, tanpa
sepengetahuan keluarganya termasuk
istrinya sendiri, Bisri Mustofa kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan
asal Tegal Jawa Tengah yang bernama Umi Atiyah pada tahun 1967. Dari Umi
Atiyah, Bisri Mustofa dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Maemun. Bisri
Mustofa wafat pada tanggal 16 Februari 1977. Bisri Mustofa kecil sejak
kecil sudah akrab
dengan lingkungan pesantren,
meski ayahnya bukan seorang Kyai. Sejak umur tujuh tahun, Bisri Mustofa kecil belajar di sekolah ” Ongko Loro” di Rembang. Di sekolah ini,
Bisri Mustofa kecil hanya bertahan satu tahun, karena ketika hampir naik kelas
dua, ia diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Rupanya, di tempat inilah Allah memberikan cobaannya. Di dalam perjalanan
pulang di pelabuhan Jeddah, ayahnya wafat setelah sebelumnya menderita sakit
sepanjang pelaksanaan haji.
Semenjak kewafatan H. Zainal Mustofa, tanggung jawab serta urusan keluarga dipegang oleh
kakak tiri Mashadi, yakni H.Zuhdi. Selanjutnya setelah itu, H. Zuhdi
mendaftarkan Bisri Mustofa kecil lagi ke sekolah HIS (Hollands Inlands School).
Saat itu, di Rembang terdapat tiga macam bentuk sekolah, yaitu:
a. Europese
School, yang memiliki murid terdiri dari anak kalangan atas, seperti
anak-anak priyayi, bupati, ataupun asisten Presiden.
b. HIS (Hollands
Inlands School) , yang memiliki murid terdiri dari anak- anak pegawai
negeri yang penghasilannya tetap.
c. Sekolah Jawa (Sekolah Ongko Loro), yang memiliki murid terdiri dari anak-anak kampung,
anak pedagang, atau tukang.[5]
Bisri Mustofa diterima di sekolah HIS karena ia diakui sebagai keluarga
Raden Sudjono, seorang mantri guru HIS, sekaligus tetangga keluarga Bisri.
Namun tak lama kemudian, ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil dengan alasan sekolah
tersebut milik Belanda
hingga akhirnya Bisri
Mustofa kembali lagi ke sekolah Ongko
Loro yang dulu dan belajar di sana
hingga mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun.
Selanjutnya pada 1926, setelah lulus dari Ongko Loro, Bisri Mustofa
remaja belajar di Pesantren Kasingan, pimpinan Kyai Cholil. Pada awalnya, Bisri
Mustofa tidak berminat belajar di pesantren sehingga hasil yang dicapai pada
awal-awal mondhok sangat tidak memuaskan. Hal ini dikarenakan pelajaran
di pesantren dianggap terlalu sulit, kurang mendapat respon baik dari
teman-temannya dan bekal uang Rp1 seminggu dirasa kurang cukup. Karena
kurang betah di pondok, Bisri Mustofa
berhenti mondok dan sering bermain
bersama-sama teman sekampungnya.[6]
Setelah tidak mondhok beberapa bulan, maka pada permulaan tahun
1930, Bisri Mustofa diperintahkan untuk
kembali lagi belajar di Kasingan, dan ia dipasrahkan kepada Suja’i (ipar KH.
Cholil) yang mengajari Bisri dengan berbagai pelajaran hingga ia menguasainya
dengan baik.
Sejak tahun 1933, Bisri Mustofa telah dipandang sebagai santri yang
memiliki kelebihan hingga ia sering diminta sebagai rujukan oleh
teman-temannya. Setelah menunaikan masa belajarnya, Bisri diperintahkan oleh
KH. Cholil untuk tetap tinggal
di Kasingan. Dan
selanjutnya, ia dinikahkan
dengan putrinya, Ma’rufah pada
bulan Sya’ban atau Juni tahun 1935.
Setahun setelah dinikahkan oleh Kyai Cholil dengan putrinya yang bernama
Ma’rufah, Bisri Mustofa berangkat lagi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun seusai haji,
Bisri Mustofa tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekkah
dengan tujuan menunutut ilmu di sana.
Di Mekkah, beliau belajar
dari satu ke guru lain
secara langsung dan privat. Tercatat beliau pernah
belajar kepada Syeikh Baqil asal Yogyakarta, Syeikh Umar Hamdan Al Maghriby,
Syeikh Ali Malik, Sayid Amid, Syeikh Hasan Massath, Sayid Alwi dan KH. Abdullah
Muhaimin.
Dua tahun lebih, Bisri Mustofa menuntut ilmu di Mekkah. Beliau pulang ke
Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun
kemudian, mertunya yakni KH. Cholil
meninggal dunia. Sejak itulah Bisri Mustofa menggantikan posisi guru dan
mertunya itu sebagai pemimpin pesantren.[7]
Di samping kegiatan mengajar di Pesantren, Bisri Mustofa juga aktif
mengaisi ceramah-ceramah (pengajian) keagamaan. Penampilannya diatas mimbar
amat mempesona para hadirin yang hadir, sehingga Bisri Mustofa sering diundang
untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti
Kudus, Demak, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah lain di Jawa Tengah.
Bisri Mustofa berperawakan besar, tinggi dan gagah yang menimbulkan
kesan berwibawa dan menyenangkan. Di
antara sifat-sifat keteladanan yang menonjol dari Bisri Mustofa adalah Memiliki kasih
sayang yang besar
terhadap sesama, terutama
para santri, sangat dermawan,
memiliki pendirian yang teguh, memiliki ambisi yang besar, menghormati orang
yang berilmu, tanpa
memandang status, suka bergaul dengan orang-orang biasa,
humoris.
B.
Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Ibrîz
Di dalam Muqaddimah tafsirnya, Bisri Mustofa mengatakan bahwa
al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam sebagai mukjizat, petunjuk dan penerang bagi umat manusia.
Untuk mengetahui maknanya, al-Qur`an telah banyak diterjemahkan oleh para ahli
terjemah dalam berbagai bahasa, sehingga
umat Islam dapat mengetahui makna al-Qur`an. Berkaitan dengan hal ini, beliau
mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya,
“Kangge namabah khidmah lan usaha ingkang sahe lan mulya punika,
dumateng ngersanipun para mitra muslimin ingkang mangertos tembung daerah Jawi,
kawula segahaken tarjamah tafsir al-Qur`an al-‘Aziz mawi cara ingkang persaja,
enteng serta gampil pahamanipun”
Dari ungkapan tersebut, dapat difahami bahwa Bisri Mustofa membuat Tafsir
al-Qur’an al-‘Aziz ini dengan cara yang bersahaja, ringan, dan mudah difahami
untuk menambah khidmah dan usaha yang baik untuk umat Islam yang memahami
bahasa Jawa.[8]
C.
Seputar Tafsir al-Ibrîz
Tafsir al-Ibrîz yang
mempunyai judul lengkap al-Ibrîz li
Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azîz merupakan salah satu
karya Bisri Mustofa yang cukup dikenal di kalangan para muslim Jawa, khususnya
di lingkungan pesantren. Tafsir al-Ibriz ini sebelum dicetak, telah ditashhih
oleh K. Arwani Amin, K. Abu Umar, K. Hisyam, dan K. Sya’rani Ahmad. [9]
Kitab tafsir ini selesai ditulis pada tanggal 29 Rajab tahun 1279
H, atau bertepatan dengan tanggal 28 Januari 1960 M.[10] Bisri
Mustofa mengarang kitab tafsir al-Ibrîz hingga berjumlah
30 juz yang
disusun kurang lebih
waktu sekitar enam tahun,
yakni mulai 1954
hingga 1960.[11] Berikut penjelasan mengenai hal-hal yang terkait
dengan tafsir al-Ibrîz :
1.
Sistematika Penyusunan dan Penulisan kitab
Bisri Mustofa dalam penyusunan tafsirnya berdasarkan mushaf Usmani. Yang
mana beliau menafsirkan al-Qur`an dimulai dari surat al-Fatihah sampai
dengan surat al-Nash. Sistemaika seperti ini dalam kajian kitab tafsir
dikenal dengan istilah mushafi.[12]
Dalam Muqaddimah tafsirnya, Bisri Mustofa menjelaskan bahwa kitab
tafsirnya disusun dalam beberapa bagian[13]:
Bagian pertama, ayat al-Qur`an
ditulis di tengah halaman dengan menggunakan makna gandul. Makna gandul ini
merupakan terjamahan al-Qur`an dari kata per-kata dalam bahasa Jawa yang
ditulis miring ke bawah dengan mengunakan huruf pegon. Cara penerjamahan seperti ini hampir sukar ditemukan kecuali
di pesantren –pesantren tradisional Jawa.[14]
Bagian Kedua, terjemahan
tafsirnya ditulis ditepi halaman dengan menggunakan tanda nomor sebagaimana
dalam sistematika kitab terjemah. Nomor ayat al-Qur`an diletakan di akhir,
sedangkan nomor terjemah ayatnya diletakkan di awal.
Bagian ketiga, keterangan-keterangan
lain atau tambahan biasanya diberi suatu istilah Tanbih, Faidah, Muhimmah, al-Qisshah, Hikayat, dan Mujarab.
Sedangkan dalam sistematika penulisannya beliau
mengunakan bahasa Jawa bertuliskan huruf Arab atau yang sering disebut dengan Arab Pegon. Karena karya-karya tafsir pada periode
permulaan yaitu pada awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1960-an sebagian ada
yang ditulis dalam bahasa Melayu-Jawi (Arab Pegon).[15]
Hal ini mungkin saja terjadi sebab menurut pengamatan Anthony H. Johns, pada
akhir abab ke-16 telah terjadi pembahasa-lokalan Islam di berbagai wilayah
Nusantara. Seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian
disebut aksara Jawi dan pegon, banyaknya kata serapan yang berasal dari bahasa
Arab, dan karya-karya yang terinspirasi oleh model dan corak Arab dan Persia.[16]
Pada periode ini pula, literatur tafsir cukup
beragam. Pertama, ada literatur tafsir yang
berkonsentrasi pada surat-surat tertentu yang dijadikan obyek penafsiran. Misalnya, Tafsir al-Qur`an al-Karim, Yassin ( Medan: Islamiyah, 1951)
karya Adnan Yahya Lubis; Tafsir Surat Yasien dengan Keterangan (Bangil:
Persis, 1951) karya A. Hassan. Kedua literatur
tafsir ini berkonsentrasi pada surat Yasin. Kedua, karya tafsir yang
berkonsentrasi pada Juz-Juz tertentu. Pada bagian ini yang muncul hanya juz
ke-30 (juz ‘Amma) yang menjadi obyek tafsir. Misalnya al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang: al-Munir, 1922)
karya H. Abdul Karim Amrullah, al-Hidayah Tafsir Juz ‘Amma (Bandung:
al-Ma’arif, 1930) karya A. Hassan. Ketiga, pada bagian ketiga ini
dalam penafsirannya tidak hanya tertentu pada surat-surat tertentu ataupun
Juz-juz tertentu melainkan al-Qur`an ditafsiri secara utuh 30 Juz. Misalnya, Tafsir Qur`an Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiya, 1957) karya H.
Mahmud Yunus. Tafsir al-Ibrîz sendiri termasuk
dalam tafsir bagian ketiga ini. Yang mana Bisri Mustofa menafsirkan al-Qur`an
secara utuh 30 Juz. [17]
2.
Sumber Rujukan Penafsiran dalam al-Ibrîz
Dalam Muqaddimah tafsir al-Ibrîz, disebutkan
bahwa penafsiran al- Ibrîz
mengambil rujukan dari
beberapa kitab tafsir
sebelumnya, seperti Tafsîr al-Jalâlain,
Baidhâwî, Khâzin, dan selainnya.[18]
3.
Metode Penafsiran al-Ibrîz
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa Tafsir al-Ibrîz ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa penafsiranya.
Dalam penyusunannya Tafsir al-Ibrîz
seperti halnya mushaf Usmani yang dimulai
dari surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat al-Nash. Metode
seperti itu bisa disebut dengan istilah Tahlili.
Adapun sumber penafsiran yang telah kita ketahui ada dua macam, yaitu bi al-Ma’thur dan Bi al-Ra’yi. Dalam Tafsir al-Ibrîz sendiri Bisri Mustofa lebih cenderung menafsirkan ayat al-Qur`an secara Bi al-Ra’yi. Karena pada kenyataanya
tidak semua ayat terdapat suatu riwayat, atau ada keterkaitan dengan ayat yang
lain. Sehingga langkah yang bisa ditempuh untuk memahami ayat tersebut adalah
dengan menghadirkan Ra’yu.[19]
Seperti halnya ketika kita melihat kasus yang terjadi dalam surat al-Baqarah
ayat 173:
انَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِۦ
لِغَيْرِ ٱللَّهِ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya
Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa
memakannya, bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.[20] (QS. al-Baqarah, 2:173)
Yang mana banyak aliran atau kelompok-kelompok yang salah memahami ayat
ini. Sebab mereka hanya memahami ayat tersebut secara lahiriyah saja. Yang mana mereka menganggap sesuatu selain yang disebutkan dalam
ayat tersebut halal. Padahal Nabi Muhammad bersabda bahwa hewan yang kuat tajam
taringnya dan hewan yang kuat cengkramannya termasukn dalam hewan yang haram.
Masalah ini beliau jelaskan dalam tafsirnya berikut:
"Sebagian orang ada yang
salah faham, yaitu hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT hanyalah bangkai,
darah, daging babi, dan juga hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Mereka
kemudian berpemahaman bahwa selain yang disebutkan di atas, hukumnya halal,
seperti harimau, kucing, ular, anjing, kalajengking, kelabang, lalat, dan
sebagainya. Pemahaman seperti ini keliru. Sebab selain ayat tersebut, kanjeng nabi
Muhammad juga mensabdakan haramnya hewan yang kuat, tajam siungnya, dan hewan
yang kuat cengkramannya. Padahal sabda kanjeng Nabi juga merupakan wahyu dari
Allah. Maka dari itu kita tidak bisa cukup hanya paham dhahir ayat saja. Untuk
menetapkan sebuah hukum, kita harus menyelidiki ayat-ayat (Al-Qur'an) yang
lain, hadis, ijma', dan juga qiyas…".
Di sini tampak jelas Bisri menekankan adanya penggunaan ijtihad (halam
hal ini qiyas) untuk memahami ayat tersebut secara komprehensif. Lebih
lanjut sebetulnya Bisri ingin menegaskan sebetulnya yang dituju Al-Qur’an dalam
ayat tersebut sebetulnya bukan semata-mata diharamkannya ketiga hal yang
disebutkan di atas, melainkan illat atau alasan mengapa hal-hal tersebut
diharamkan. Kemudian dari illat tersebut digunakan untuk meng-qiyas-kan
hukum-hukum lain.[21]
Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan dalam Tafsir al-Ibrîz ini terdapat juga penafsiran
secara bi al-Ma’thur. sebab pada kenyataanya terkadang ada ayat-ayat
al-Qur`an yang tidak dapat difahami atau akan terjadi kesalah fahaman ketika
tidak diketahui riwayat-riwayat dalam ayat tersebut. Seperti halnya mengetahui asbab al-nuzul
dari suatu ayat. Seperti halnya ketika kita ingin memahaimi surat al-Baqarah
ayat 115 :
وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Dan milik Allah timur dan barat.
Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui.[22] (al-Baqarah, 2:155)
Yang mana
ketika kita tidak mengetahui asbab al-nuzul dari dari ayat di atas, maka
akan menimbulkan suatu pemahaman bahwa shalat boleh menghadap ke mana saja. Bisri Mustofa dalam pada ayat ini
menafsirkan dengan :
"kanjeng Nabi shalat kanthi numpak onto sak jerone tindaan ora
madep kiblat. Wong Yahudi pada nyela. Mulane turun ayat kang surasane
mengekene:jagat wetan, jagat kulon iku kabeh kagungane Allah Ta’ala. Marang endi
bahe shalat kanjeng Nabi, asal wus netepi dawuhe Allah Ta’ala iku ora bakal
keliru. Gusti Allah iku jembar kanugerehane tur ngudaneni"[23]
("Kanjeng
Nabi shalat dengan naik kendaraan ketika dalam perjalanan, tidak menghadap
kiblat. Sementara orang-orang Yahudi mencelanya. Maka dari itu turun lah ayat
yang berbunyi: belahan bumi timur dan juga barat adalah kepunyaan Allah. Ke
arah mana pu kanjeng Nabi shalat, asalkan sesuai dengan petunjuk Allah,
maka tidak akan salah. Allah itu luas anugerahNya dan Maha Mengetahui".
Terkait dengan penafsirannya, Bisri Mustofa lebih condong menyebutnya
sebagai terjemahan tafsiriyah. Yang mana dalam kajian madzhab tafsir,
terjemahan tafsiriyah dapat dikategorikan sebagai penafsiran secara Ijmali.[24] Namun
meskipun demikian, pada beberapa tempat juga ada uraian-uaraian panafsiran yang
cukup panjang. Metode seperti itu sesuai dengan tujuan penulisan Tafsir al-Ibrîz..[25]
Metode penjelasan yang digunakan oleh Bisri Mustofa langsung tertuju
pada inti ayat, dan tidak terlalu mempanjanglebarkan. Gaya bahasa yang
sederhana pun menjadikan tafsir ini terasa mudah untuk difahami oleh masyarakat
awam. Dalam aspek-aspek tertentu, terkadang Bisri Mustofa memberikan suatu
penjelasan tentang hal-hal tersebut, di antaranya:
Pertama, di setiap awal surat, Bisri Mustofa memberikan
penjelasan tentang Makkiyah, Madaniyah, banyaknya ayat dan Makna dari
surat yang ditafsirkan.
Kedua, memberikan penjelasan tentang Nasikh, Mansukh,
dan asbab al-nuzul dari ayat. Biasanya penjelasan tentang Nasikh-Mansukh
ditandai dengan istilah Tanbih.
Sedangkan asbab al-nuzul ditandai dengan istilah Faidah. Hampir semua asbab al-nuzul dari semua ayat dicantumkan.
Akan tetapi munasabat antar ayat kurang diperhatikan dalam tafsir ini.[26]
Ketiga, memberikan penjelasan tambahan, baik berupa peringatan
dan pengecualian dengan istilah Tanbih;
pengajaran atau nasihat dengan istilah Faidah;
penjelasan hal-hal yang penting dengan istilah Muhimmah, kisah-kisah para Nabi, umat terdahulu, ataupun peristiwa
hari akhir dengan istilah Qishshah dan
Hikayat; serta informasi tentang
pengobatan dengan istilah Mujarrab.[27]
Ketika menceritakan kisah-kisah
yang terkandung dalam al-Qur`an, Bisri Mustofa berusaha menceritakan dengan
jelas. Sehingga beliau banyak menukil cerita Isra’iliyyat dalam kitab
ini. Sebab al-Qur`an sendiri ketika membahas tentang cerita Isra’iliyyat hanya
sebatas gambaran-gambaran umum saja, tidak terlalu memperinci kisahnya.
Sehingga beliau menerangkannya dengan mengambil cerita Isra’iliyyat yang
memang sifatnya bercerita secara detail, seperti nama pelaku, tempat, dan waktu
terjadinya kisah.[28]
Dari kisah Isra’iliyat
ini, Bisri Mustofa mencoba untuk menjelaskan kisah-kisah para Nabi dan umat
terdahulu, terutama tentang sejarah perkembagan Bani Israil (Yahudi). Sedangkan
cerita Isra’iliyyat yang terkandung dalam kitab tersebut hanya berupa
sejarah ataupun hikmah, bukan sesuatu yang mengandung hukum atau aqidah. Dan
ketika dihubungkan dengan akal maupun syari’at cerita Isra’iliyyat yang
diambil termasuk dalam cerita yang maqbul
dan maksut ‘anhu dan tidak ditemukan
sesuatu yang mardud. Sebab Beliau
sangat berhati-hati dalam pengambilan cerita Isra’iliyyat. Meskipun
beliau tidak menyebutkan riwayat dari kisah Isr’iliyyat.
Seperti halnya ketika membahas cerita Isra’iliyyat dalam
pertistiwa nabi Adam dan Hawa’ yang diusir dari langit sebab beliau telah
melanggar larangan Allah dengan memakan buah khuldi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30-39, dalam kisah
tersebut, Nabi Adam sangat menyesal
sekali telah melangar perintah Allah sampai-sampai beliaunya menangis dan meminta
ampunan kepada Allah. Sampai akhirnya Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari
Allah yang mana dengan kalimat itu Allah akan menerima tobat beliau. Kalimat
tersebut adalah:
رب اني ظلمت نفسي ظلما كبير ولا يغفر الذنوب الا انت فاغفرلى ذنوبى
Adapun dari kisah di atas, terdapat sebuah
hikmah yang mana sebasar apapun kesalahan kita kepada Allah dan kita
benar-benar meminta ampun dengan bertobat yang benar-benar tobat, maka Allah
akan mengampuninya.[29]
Kisah Isra’iliyat di atas pun
jika kita mencoba untuk menalarnya tidak ditemukan sesuatu yang bertentangan
dengan syari’at dan sekilas kisah tersebut bisa diterima. Dari cerita itu pula
kita dapat melihat sebuah hikmah yang terkandung di dalam sebuah ayat
al-Qur`an.
D.
Poligami dalam
Tafsir al-Ibrîz
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Apabila kamu semua khawatir tidak bisa adil terhadap anak-anak
yatim, maka menikahlah kamu semua dengan orang yang baik dari wanita-wanita
yang kamu senangi, dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat. Dan apabila kamu semua
khawatir tidak bisa adil maka satu saja, atau orang yang kamu miliki dari
tangan kananmu, adapun yang satu itu lebih dekat kepada keadilan”.
Dalam tafsir al-Ibrîz dijelaskan asbab al-Nuzul dari ayat
tersebut adalah “orang-orang Islam pada zaman awal kalau ada yang mendidik anak
yatim perempuan dan bukan muhrimnya (putri saudaranya seumpama) itu kebanyakan
dinikahi sendiri. Ketika itu terjadilah ada orang yang beristri 8
samapi 10”. Namun dalam keterangan itu tidak disebut riwayat atau bersumber
dari manakah asbab al-Nuzul tersebut. Kemudian dilanjutkan “ketika ayat
2 tersebut turun, kemudian orang-orang Islam ini pada khawatir tidak bisa adil
dan banyak orang yang sumpek/terpojok, kemudian Allah menurunkan ayat 3 ini”. Bisa
dikatakan di sini disebutkan ada hubungan Munasabah antara ayat 2 dan 3.[30]
Dalam tafsir al-Ibrîz, ayat 3
surat al-Nisa’ dijelaskan “kalau kamu sekalian semua khawatir tidak bisa
adil terhadap anak-anak yatim yang kamu didik , maka nikahlah dua-dua saja atau
tiga-tiga atau empat-empat dari perempuan yang kamu senangi”. Kata-kata yang
digunakan di sini yaitu “loro-loro, utowo telu-telu, utowo papat-papat” yang
dalam bahasa Indonesianya “dua-dua, atau tiga-tiga, atau empat-empat”. Secara
sekilas kita akan memahami dua-dua berarti adalah empat, tetapi kemudian dijelaskan
berikutnya “jangan sampai lebih dari empat”. Dalam hal ini Bisri Mustofa
mengikuti pendapat mayoritas ulama yang membatasi bahwa seorang lelaki hanya
boleh memiliki empat orang istri. Sementara golongan Syiah berpendapat lain, poligami
boleh lebih dari empat orang istri. Hal ini didasarkan pada nabi Muhammad yang
memiliki istri lebih dari empat orang. Akan tetapi, pendapat golongan Syiah
yang bedasarkan nabi yang mempunyai
istri lebih dari empat, bertentangga dengan sebuah hadis yang diriwayatkan dari
kitab Sunan Ibnu Majah:
عن قيش بن الحارث قال: اسلمت وعند ى ثما ن نسوة.
فا تيت النبي صلى الله عليه وسلم: فقلت ذ لك , فقال: اختر منهن اربعا. )رواه ابن ماجه(
”Dari Qais Ibnu Al-Harith ia berkata: Ketika
masuk Islam saya memiliki delapan istri, saya menemui Rasulullah dan
menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: “Pilih empat diantara mereka”.[31]
(H.R. Ibnu Majah).
Ibnu Kathir dalam tafsirnya juga mengunakan
hadis Qais Ibnu al-Harith ini sebagai penguat riwayat-riwayat sebelumnya. Jadi,
riwayat Sahabat yang beristri lebih dari 4 (empat), lalu nabi memerintahkan
untuk memilih 4 saja dan menceraikan sisanya adalah riwayat-riwayat yang bisa
dijadikan Hujjah dalam pembahasan hukum Syara’ sehingga memberi
batasan jumlah istri maksimal empat.
Akan tetapi kebolehan untuk menikahi 4 wanita
tersebut bukan tanpa suatu syarat melainkan :“lamun siro kabeh kuwatir ora
bisa adil nafaqahi lan gilir, mongko nikahno siji bae, utowo terima ngalaf
cukup jariyah kang sira miliki.” Yang mana adil menjadikan syarat pokok
dalam poligami tersebut.
III.
Kesimpulan
Al-Ibrîz li Ma’rifati Tafsir al-Qur`an al-‘Aziz merupakan kitab tafsir karya Bisri Mustofa, ulama’ Indonesia yang lahir pada tahun
1915, di desa Sawahan, Rembang, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra pertama
dari pasangan Zainal Musthofa dengan Istri beliau Chotijah. Bisri Musthofa
mempunyai nama kecil Mashadi, yang mana kemudian diganti dengan Bisri Mustofa
setelah beliau menunaikan ibadah haji.
Tafsir al-Ibrîz sendiri merupakan karya beliau yang
fenomenal, yang mana tafsir ini ditulis dengan tujuan agar dapat menambah
khidmah dan usaha yang baik untuk umat Islam. Bisri Mustofa menyajikan tafsirnya dengan cara yang
bersahaja, ringan, dan mudah untuk difahami oleh seluruh kalangan masyarakat
khususnya masyarakat Jawa. Sehingga untuk menwujudkan tujuan tersebut tafsir al-Ibrîz ini ditulis mengunakan bahasa jawa dengan tulisan huruf Arab atau yang
disebut dengan istilah Arab Pegon. Kemudian dalam penyusunan kitabnya
Bisri menuliskan ayat al-Qur`an di tengah kemudian dimaknai secara gandul.
Terjemahan tafsirnya diletakan di bagian tepi halaman ditandai dengan nomor.
Bisri Mustofa secara penuh menafsirkan ayat al-Qur`an. Diawali dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nash, yang mana
metode seperti ini sering disebut dengan istilah Mushafi atau Tahlili.
Adapun sumber penafsiran yang beliau gunakan dalam penafsiranya adalah bi al-Ra’yi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
dalam tafsir ini juga terdapat sumber Ma’thur, sebab terkadang beliau
menyubutkan asbab al-nuzul dari suatu ayat dalam penafsiranya.
Terkait dengan penjelasan ayat, Tafsir al-Ibrîz dikategorikan sebagai penafsiran secara
ijmal. Akan tetapi, terkadang di beberapat tempat ditemukan suatu uaraian
tafsir yang cukup panjang.
Pembahasan Isra’iliyat pun tak terlupakan dalam tafsir ini.
Cerita Isra’illiyat beliau cantumkan ketika menceritakan kisah-kisah yang terkandung dalam
ayat al-Qur`an. Pengambilan Isra’iliyat beliau cukupkan pada sebuah sejarah
ataupun hikmah. Bukan sesuatu yang menagandung sebuah hukum atau aqidah, dan
bukan suatu hal yang bertentangan dengan akal maupun syari’ah.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Asif, Muhammad.
“Karekteristik Tafsir al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa”. Skripsi STAIN
Surakarta, 2010.
Esack, Farid.
”Samudera Al-Qur’an”. Yogyakarta:
Diva Press, 2007.
Gusmian, Islah. “Khazanah Tafsir
Indonesia; Dari Hermeunetika Hingga Ideologi”. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta,
2013.
Huda, Achmad Zainal. “Mutiara Pesantren
Perjalanan Khidmah KH.
Bisri Mustofa”.Yogyakarta
: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005..
Johns, Anthony. “The Qur’an in the Malay
: Reflection on ‘Abd al-Rauf of Sinkel (1615-1693)”. Journal of Islamic
Studies 9:2. 1998.
Khalifah, Siti
Nur. “Pengaruh
Pengajian Kitab Tafsir al-Ibriz Terhadap Peningkatan Kecerdasan Spritual Pada Santri Di PPM. Al-Jihad Angkatan Tahun 2012”. Skripsi: IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2014.
Majah, Ibnu. “Sunan Ibnu Majah”. Mauqi’u al-Islam. ttp:tth, .
Mustofa, Bisri. “al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz”.Kudus: Menara Kudus.
Saefudin, Ahmad. “Kisah-Kisah
Isra’iliyat dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa”. Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2003.
[1] Farid Esack, Samudera
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hlm. 35-59.
[2] Ahmad Saefudin,
“Kisah-Kisah Isra’iliyat dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa” (Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta,
2003), VI
[3] Achmad Zainal
Huda, Mutiara Pesantren
Perjalanan Khidmah KH.
Bisri Mustofa, (Yogyakarta :
PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), 8
[8] Bisri Mustofa, al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz, (Kudus : Menara Kudus,tth), 1: 2.
[13] Mushthofa, al-Ibrîz li Ma’rifat ,1: 2-3.
[15] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia;
Dari Hermeunetika Hingga Ideologi, ( Yogjakarta: LKIS Yogyakarta, 2013) 51
[16] Anthony johns, “The Qur’an in the Malay : Reflection
on ‘Abd al-Rauf of Sinkel (1615-1693)”,( Journal of
Islamic Studies, 1998), 9:2:121
[17]IslahGusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 59-60
[19] Muhammad Asif, “Karekteristik Tafsir al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa”,
(Skripsi di STAIN Surakarta, 2010), 90.
[24] ……………., “al-Ibriz li
Ma’rifati, 14.
[25] Siti Nur Khalifah, “Pengaruh Pengajian Kitab Tafsir al-Ibriz
Terhadap Peningkatan Kecerdasan Spritual
Pada Santri Di PPM. Al-Jihad Angkatan
Tahun 2012”, (Skripsi: IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2014), 32-33
[28] Ahmad
Saefudin, “Kisah-Kisah
Isra’iliyat dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa”, (Skripsi, IAIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta, 2003), VII-VIII
6 komentar:
sya diberi tetangga satu set utuh, insya Alloh tiap pekan akan kita bacakan buat jamaah ibu ibu
semoga bermanmaat
al-Ibriz 30 juz lengkap
bisa didownload di http://aplikasi-interaktif.blogspot.co.id/
link download
terima kasih
Mas Kalau mau beli tafsir versi aslinya/jawa pegon di mana ya?
apakah buku mutiara pesantren perjalanan khidmah KH Bisri Mutofa diperjual belikan di toko buku biasa?
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
Posting Komentar